Acara bantu-bantu memasak di rumah Pak Aksa dimulai pukul sembilan pagi. Dia ternyata mengambil libur demi menyambut ibunya yang akan datang sekitar jam makan siang nanti. Saat aku tiba, Pak Aksa sudah menyiapkan bahan-bahan masakan.
"Gulai ikan yang kemarin ibumu buat. Hapal bumbu-nya, 'kan?"
Baru datang, dia langsung menyuruhku menyiapkan bumbu. Aku menjawab dengan anggukkan, kemudian mulai berkutat dengan keranjang berisi bawang, cabai dan teman-temannya. .
"Jadi, kamu itu penulis?"
Suara Pak Aksa yang tiba-tiba masuk ke gendang telinga menginterupsi tanganku yang sedang mengupas bawang merah. Aku menengok padanya yang berdiri di depan wastafel.
"Tahu dari mana?"
"Ayahmu."
Dasar bapak. Sudah berapa kali kubilang gak usah cerita ke siapa-siapa. Pasti, beliau malu mengakui kalau aku hanya di rumah dan gak punya pekerjaan.
"Jadi, bagaimana caramu bekerja?"
Kembali mengupasi bawang, aku terpaksa membagi sedikit cerita. Kepalang basah, mandi saja sekalian. Toh, hanya cerita pada Pak Aksa. Dia gak akan membeberkannya sama siapa-siapa lagi.
"Bikin tulisan fiksi, Pak. Novel, cerpen, terus dijual."
"Oh, dicetak?"
Aku menggeleng. "Belum sampai dicetak. Cuma publish di platform dan media nulis."
"Bagaimana kamu bisa dapat uangnya?" Dia membawa ikan yang sudah dicuci ke meja yang kupakai.
Aku menoleh, untuk kemudian menemukan raut penasaran di wajahnya. Dia serius ingin tahu?
"Kan dijual, Pak. Per cerpen aku jual dua ribu rupiah. Ada juga yang dikontrak sama platform berbayar."
"Dua ribu? Murah sekali?"
"Kan tergantung kualitas."
"Memang, kualitas cerpen buatanmu bagaimana?"
Aku tampak menimbang sebentar. "Menurutku, yang aku buat selama ini sebatas untuk hiburan doang. Belum yang berat kayak penulis lain. Ada pesan moral, ada ilmu baru yang diselipkan di ceritanya."
Aku memeriksa jumlah cabai yang sudah kupetik. "Mau pedas atau gak, Pak?"
"Sedang saja," jawabnya mulai memetik sayur. "Terus, kalau yang dikontrak?"
"Itu untuk platform berbayar. Nanti, kita ajukan naskah dulu. Mereka akan nilai. Kalau bagus, bisa dikasih uang muka, selain bagi hasil dari pembaca yang buka bab berbayar."
Pak Aksa mengangguk-angguk. "Pantas kamu kaya."
Aku tertawa. "Kaya dari mana?" protesku.
"Kamu bisa buatkan usaha untuk ibumu. Padahal, setiap hari cuma di rumah, tidur, jajan, nonton dan marah." Mata Pak Aksa menyipit karena pria itu tersenyum. "Yang itu saya dengar dari ayahmu."
Aku hanya bisa mengangguk malas. Bapak pasti selalu cerita begitu. Katanya, pekerjaanku ini aneh. Gak melakukan apa-apa, cuma tidur, mengkhayal, tapi punya uang. Bahkan, pernah Bapak curiga kalau aku main judi. Beliau gak tahu saja kalau kepalaku juga bisa sakit hanya untuk memikirkan bagaimana tokoh di cerita bisa bermesraan.
"Bapak mana tahu gimana capeknya mikir supaya satu tokoh bisa mati dengan masuk akal," celetukku sembari memasukkan bumbu ke gelas blender.
"Bikin cerita aksi juga? Kalau mau baca karya kamu, di mana?"
Aku langsung mengangkat satu telapak tangan ke depan. "Jangan. Dilarang. Pantang."
"Kenapa? Saya juga mau tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Yes?
RomanceNiatnya ingin cari suami kaya raya, minimal CEO. Atau bos preman galak, tetapi bucin juga boleh. Namun, hidup itu kenyataan. Dari banyaknya pria di dunia, ada satu yang nekat ingin menghabiskan hidupnya denganku. Namanya Rexi. Ganteng, meski gak pu...