7 - No Sentuh-Sentuh!

406 62 4
                                    

Kata dokter, Bapak hanya kelelahan. Tekanan darahnya rendah, karenanya jatuh pingsan. Bapak bilang, itu karena beberapa hari ini sulit tidur. Simpulannya, gak ada yang genting di kondisi kesehatan Bapak.

Aku lega. Kukira beliau terserang penyakit parah. Meski di samping itu aku harus menerima banyak ejekan.

"Siapa yang sakit, siapa yang pingsan."

Begitu kata mereka gara-gara insiden aku pingsan di rumah sakit. Terlebih dari Bapak. Sekarang, kalau dia menatapku, pasti setelahnya akan tertawa puas.

"Lemah!" ejeknya tanpa rasa kasihan.

Aku yang sadar diri gak mungkin mendebat. Aku memang lemah. Dan ini memang sudah dari kecil.

Melihat orang pingsan, kecelakaan di jalan, orang meninggal, aku pasti akan ketakutan, lemas dan berakhir gak sadarkan diri. Lemah.

Buruknya lagi, kalau sudah pingsan, aku pasti akan demam setelahnya. Lalu, setelah Bapak, maka giliran Ibuk yang akan meledek.

"Satu rumah kena flu, kamu bisa nggak tertular. Giliran pingsan, pasti demam parah."

Begitu repetan wanita itu habis membantuku makan pagi ini. Gak protes sedikit pun, aku beranjak dari kamar. Dua hari belakangan aku cuma berbaring di tempat tidur. Rindu juga menghirup udara segar.

Duduk di teras, aku melihat Bapak yang akan berangkat kerja. Setelah melirik dan melepas senyum mengejek, beliau menaruh selembar uang lima puluh ribu di atas meja.

Melirik kesal, aku mengambil uang tadi kemudian menyimpannya di saku. Jelas itu untukku. Mungkin permintaan maaf karena sudah mengejek, padahal Bapaklah penyebab aku pingsan.

"Habis ini aku mau belajar naik motor," kataku.

Bapak menoleh dengan alis bertaut. "Mau ngapain? Ngojek? Nggak takut hitam nanti?"

"Biar gak kayak kemarin. Harus minta tolong orang."

Bapak menaikkan satu ujung mulut. Dia mengejek lagi. "Nggak perlulah. Nanti jatuh, nangis."

Habis berkata begitu, Bapak pergi. Aku bahkan belum sempat membantah. Memang, ya. Dari semua anaknya, cuma aku yang gak disayang.

"Sudah sembuh, Abigail?"

Lagi sibuk mendumel, aku mendengar suara Pak Aksa. Benar saja, lelaki itu sudah berdiri di halamannya. Sudah dalam setelan rapi, sepertinya akan pergi ke kampus.

Kuberi anggukkan sebagai jawaban pada Pak Aksa. Aku teringat kalau belum sempat mengucapkan terima kasih padanya untuk bantuan malam itu.

"Makasih, ya, Pak untuk bantuan kemarin."

Lelaki itu mengangguk saja. Dia menatapi agak lama, sebelum akhirnya berdeham.

Terasa agak canggung setelahnya. Aku gak punya apa-apa lagi untuk disuarakan, sementara Pak Aksa masih berdiri di sana. Beruntung Rexi datang, jadi aku punya fokus lain.

"Ini dari Ibu." Rexi menaruh rantang bersusun tiga di meja. "Dimakan."

Aku mengangguk, kemudian minta disampaikan terima kasih. "Kamu mau kerja?"

"Kenapa? Butuh sesuatu?"

Uh, perhatian sekali calon suami ini. Sudah menyempatkan datang, sekarang malah bertanya aku ingin apa. Dimanfaatkan sepertinya seru ini.

"Ajak keliling," kataku sembari mengambil sandal dari dalam rumah.

Aku selesai mengenakan sandal, Rexi masih duduk di kursi. Wajahnya ditekuk. Pandangannya menajam.

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang