Aku yang baru selesai mandi keluar untuk melihat Ibuk sedang bicara dengan siapa. Masih pagi, pukul tujuh, siapa yang sudah bertamu?
"Kemarin Abigail langsung pulang sebelum makan. Makanya saya bungkuskan ini. Ibu dan keluarga suka daging, 'kan?"
Oalah. Nenek sihir satu ini belum jera cari masalah rupanya.
"Ngapain dia, Buk?" Aku sengaja mengabaikan dia dan mengajak ibu bicara.
"Ah, ini. Nak Serena kasih daging. Katanya kamu semalam nggak sempat makan."
Seolah punya firasat, aku mengambil kotak bekal dari tangan Ibuk. Saat penutup benda itu kubuka, bau gak sedap langsung tercium. Basi. Makanan itu basi.
Serena memberikan makanan basi pada ibuku.
Sialan perempuan satu ini.
"Pasti jarang-jarang makan daging, 'kan? Mahal sekarang memang."
Oalasuh!
Kutaruh kotak bekal itu di meja, setengah melemparnya. Pada Serena aku menatap nyalang.
"Maksudmu apa?"
Perempuan itu tertawa. Seolah dia puas karena melihatku kesal.
"Kemarin kan kamu langsung pulang. Nggak sempat makan. Jadi, aku bawakan makanannya ke sini. Kan bisa bagi-bagi sama Ibu dan adikmu."
Tangan ini langsung mengambil tindakan atas apa yang Serena katakan. Tanganku terangkat, lalu telapak tangan menghantam pipinya yang dipoles pemerah.
"Abigail!" Ibuk memekik marah.
Serena melotot sambil memegangi pipinya.
"Kamu, tuh, kenapa, sih, Abigail? Kenapa aku ditampar? Niatku baik, membagi makanan enak dengan keluargamu. Kamu ini gila, ya?"
"Dengarkan ini baik-baik." Aku mendorongnya hingga berpindah ke halaman. Gak sudi aku teras rumah ini diinjak perempuan setan macam dia.
"Aku gak pernah mengusik kamu. Gak usah perasaan kenal sama aku. Kita gak punya hubungan apa-apa."
Dia bersedekap, dagunya naik. "Kenapa? Kamu malu ketemu lagi sama aku? Malu karena sekarang aku sukses, sementara kamu--" Serena menggantung kalimat, tetapi matanya bergulir seolah sedang menghakimi.
"Apa itu mengganggumu? Apa itu berpengaruh sama hidupmu?"
"Jangan sombong Abigail. Kamu bukan Abigail yang dulu. Kamu bu--"
"Karena aku bukan Abigail yang dulu, karena itu jangan bersikap sok kenal!" Aku menyela garang. "Gak ada yang ngundang kamu datang. Aku gak mengusirmu karena Ibuku yang melarang."
"Malu. Bilang aja kamu malu. Udahlah, Abigail. Kenapa kamu harus makin mempermalukan dirimu sendiri, sih? Aku nggak melakukan yang salah. Aku cuma membagi makanan sama keluargamu yang pasti jarang makan daging. Ap--"
"Tutup mulutmu, murahan ...."
Mata Serena melotot. Terserah dia mau terkejut sampai kena serangan jantung karena makianku tadi. Aku gak peduli. Bagiku, perbuatannya ini sudah diambang batas yang bisa kutoleransi.
"Kalau kamu masih punya malu. Jangan muncul di depan mukaku." Saat itu aku baru sadar kalau Rexi sudah ada di sana. Pria itu merangkulku dari belakang.
"Abigail, cukup," katanya pelan, tetapi tegas.
Aku menggigit bibir sebentar. Mendadak hatiku sedih sekali. Tega sekali Serena memberikan daging yang sudah gak layak dimakan pada Ibuku? Apa pikirnya kami gak mampu beli? Meski benar gak mampu beli, kami juga gak minta ke dia. Apa haknya melakukan hal sekeji tadi? Dia sama saja menganggap keluargaku tong sampah. Dan aku mau gila rasanya kalau gak melakukan sesuatu padanya sekarang.
"Kalau kamu merasa punya masalah, itu denganku. Selesaikan denganku. Jangan usik keluargaku. Mereka gak pernah mengusik kamu." Aku terus meluapkan kemarahan. Beruntung Serena diam, kalau gak. Aku sudah maju dan menjambak rambut panjangnya itu.
"Orang berbuat salah itu wajar. Yang gak wajar itu yang kayak kamu. Udah murahan, gak sadar diri. Aku heran kenapa kamu masih punya muka untuk berhadapan dengan aku. Kita sama-sama tahu siapa yang harusnya malu di sini, Serena."
Kulihat wajahnya memerah. Bagus. Dia paham apa yang sedang kukatakan.
"Meski kamu sekarang bergelar dan aku gak, itu bukan masalah untukku. Karena aku tahu gelarmu itu cuma hiasan. Aslinya, kamu itu murah, busuk. Sama kayak makanan yang kamu kasih tadi."
"Abigail." Di belakangku Rexi memperingatkan. Bisa kurasakan rangkulan lelaki itu di dada menguat.
"Ambil kotak bekalmu tadi. Pungut sampahmu. Belajar untuk membersihkan sampahmu sendiri."
Serena malah berbalik. Kurasa dia akan segera pergi. Aku berusaha menjauh dari Rexi, tetapi lelaki itu gak memberi celah.
Kemudian, aku melihat Pak Aksa muncul di halaman rumah kami. Dia ... dia mengadang Serena.
"Ambil," kata Pak Aksa dengan suara pelan.
"Mas, aku nggak ber-"
"Ambil, Serena." Pak Aksa menyela sembari mengarahkan telunjuk ke arah meja di teras rumahku.
Dengan langkah menghentak, Serena berbalik dan memungut kotak bekalnya. Aku puas melihat perempuan itu berlari ke rumah Pak Aksa. Kalau dia manusia, dia harusnya malu. Dan itu sudah cukup untuk mengobati rasa sedih dan sakit hatiku.
Usai dia gak tampak, aku menepis tangan Rexi. Aku menghampiri Ibuk.
"Aku udah bilang, 'kan? Dia bukan temanku! Kenapa Ibuk gak buang aja tadi?"
Ibuk meraih tanganku dan menggenggamnya. Seketika air mataku jatuh.
"Dia bilang ingin berbagi. Ibuk merasa nggak enak kalau meno--"
"Dia bukan mau berbagi!" Aku meledak. Sejujurnya, teriakanku ini bukan karena marah pada Ibuk. Namun, marah pada diriku sendiri.
Ini pasti gara-gara aku. Aku selalu jadi sumber aib untuk Ibuk dan Bapak. Gak dulu atau sekarang, sama aja.
"Dia mau menghina kita!" Aku terisak di depan Ibuk.
"Abigail, ini bukan sesuatu yang pantas kamu tangisi, Nak. Yang me--"
"Gak mau!" Aku mengelak saat Ibuk akan memeluk. "Aku gak mau dengar apa pun dan gak mau tahu apa pun!" Aku gak mau mendengar apa pun sekarang. "Awas kalau dia berani nginjak pekarangan rumah ini lagi. Jangan terima dia di sini!"
Usai mengatakan itu, aku masuk ke rumah. Kukunci pintu kamar, lalu naik ke tempat tidur. Gak tahu. Aku gak mau tahu apa pun sekarang. Aku cuma mau tidur.
***
Rumah mendadak sepi. Biasanya, kalau aku belum keluar kamar untuk sarapan, pasti ada saja yang menggedor pintu. Bapak bahkan akan pakai kunci cadangan dan menyeret aku ke meja makan. Namun, kali ini gak begitu.
Mereka tahu aku amat marah. Karenanya, semua mendadak diam. Gak ada satu pun yang berani mengajak aku bicara sejak kejadian dengan Serena tiga hari lalu. Mungkin, gak mau ikut kena semprot.
Marahku sebenarnya sudah hilang. Yang tinggal hanya perasaan sedih. Dan kalau sedang sedih, biasanya banyak ide yang bisa dituangkan jadi tulisan. Karenanya, beberapa hari ini aku lumayan produktif.
Daripada nangis, mending begini. Siapa tahu, tulisan-tulisan ini bisa menemukan pembaca dan menghasilkan uang. Biar bisa beli daging, supaya gak dihina Serena lagi.
Serena asu!
Moodku tiba-tiba anjlok karena mengingat nenek sihir itu. Mendadak kamar menjadi sumpek. Menenteng laptop, aku pun pergi ke teras. Mumpung sore, siapa tahu menontoni kendaraan berlalu-lalang bisa mengurai kusut di pikiran dan pengap di hati.
....
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Yes?
RomanceNiatnya ingin cari suami kaya raya, minimal CEO. Atau bos preman galak, tetapi bucin juga boleh. Namun, hidup itu kenyataan. Dari banyaknya pria di dunia, ada satu yang nekat ingin menghabiskan hidupnya denganku. Namanya Rexi. Ganteng, meski gak pu...