17 - Butuh Waktu

306 58 7
                                    

Sejak pagi kepalaku pusing luar biasa. Pandangan berputar-putar setiap buka mata. Alhasil, sampai siang ini masih berbaring di tempat tidur.

Ibuk masuk. Beliau membangunkan dengan beberapa omelan. Biasanya, aku akan menyahut. Namun, kali ini aku hanya bisa diam. Gak punya tenaga. 

Mungkin heran, Ibuk mendatangi. Dia memeriksa dahi.

"Demam kamu, Abigail?"

Aku hanya mengernyit, lalu menaikkan selimut sampai dagu. Kupejamkan mata, berharap tidur sekali lagi bisa menghilangkan pusing dan semua ras agak enak di tubuh.

"Ini pasti karena kamu nggak tidur, Abigail."

Sayup-sayup aku mendengar ibu bicara. Sepertinya itu benar. Beberapa hari belakangan aku memang tidur di dini hari. Kadang menyelesaikan tulisan, kadang hanya bermain ponsel sembari memikirkan beberapa hal.

Yang paling sering kupikirkan akhir-akhir ini adalah rencana pernikahan. Entah kenapa, belakangan aku makin ragu. Benarkah keputusan menikah dengan Rexi adalah keputusan tepat?

Pak Aksa pernah menyuarakan pendapatannya. Katanya, aku terlalu gak serius dengan masa depan. Sampai-sampai alasanku mau dipinang Rexi hanya karena merasa Bapak dan Ibuk sudah gak senang aku menumpang di rumahnya.

Ada benarnya pendapat itu. Terlebih, kalau kupikirkan lebih jauh, pernikahan gak seperti sekolah. Gak ada periode lulusnya. Pernikahan itu seumu hidup. Apa aku siap menghabiskan seluruh sisa umur bersama Rexi?

Rexi itu baik. Sejauh ini, menurutku dia pria yang jujur, bertanggungjawab dan dewasa. Namun, apa benar sifat-sifat itu akan bertahan selama sepuluh, dua puluh atau tiga tahu ke depan?

Bagaimana kalau setelah menikah nanti Rexi berubah? Dia jadi pemarah? Atau dia gak dewasa lagi dan lebih sering membentakku? Atau yang paling parah, gimana kalau ketemu sama perempuan yang lebih cantik, lebih pintar dan lebih kaya dari aku? Dia selingkuh, aku jadi istri-istri menderita yang diduakan, macam di sinetron?

Belum lagi, terakhir kali Rexi ke sini, kami sedang ribut. Kira-kira itu tiga hari lalu. Dan sampai sekarang, Rexi sama sekali belum datang lagi. Dia masih mengirimi pesan, tetapi hanya basa-basi seperti menanyai sudah makan dan sedang butuh apa.

Apa jangan-jangan dia juga mulai ragu dengan rencana pernikahan kami?

Juga ....

Ini terdengar licik, tapi aku mulai memikirkan Pak Aksa. Kehadiran pria itu di sini, menjadi tetanggaku mulai mengusik. Benarkah itu hanya kebetulan semata?

Dulu, Pak Aksa itu lelaki idaman. Diam-diam aku berharap bisa berjodoh dengan pria semacam dia dulu. Daripada mengkhayal ketemu suami CEO atau ketua preman, ketemu suami dosen kayaknya lebih masuk akal.

Terlebih ....

Sepertinya Pak Aksa juga tertarik padaku. Dua hari lalu, dia membawakan jeruk. Sekarang, Pak Aksa lebih sering menyapa. Kalau aku sedang duduk di teras, dia bahkan gak sungkan mengajak mengobrol. Dia juga pernah mengaku tertarik padaku, 'kan?

Jadi?

Ah, gak tahu. Kepalaku makin pusing sekarang. Lebih baik tidur saja. Siapa tahu, setelah bangun nanti pikiranku jauh lebih tercerahkan.

***

Aku gak tahu sudah tidur berapa lama. Sepertinya lumayan lama, karena kondisi kamar sudah sedikit berbeda. Yang paling mencolok, ada kantung infus yang menggantu di dekat ranjang. Jarumnya tertempel di punggung tanganku.

Sewaktu bangun, kepalaku sudah gak terlalu pusing. Hanya saja tubuh rasanya lemas sekali. Butuh waktu beberapa menit sampai aku berhasil duduk dengan punggung bersandar ke dinding.

"Bi?"

Rexi tampak masuk ke dalam kamar. Pria itu membawa nampan di tangan. Dia menghampiriku.

"Pusing nggak? Mual?"

Aku menggeleng. Kuihat ada air di atas nampan yang dia bawa, aku meminta itu.

"Aku kenapa?" tanyaku.

"Pingsan. Kamu kecapekan kata dokternya."

"Dokter?"

Rexi mengangguk. "Bapak panggilkan dokter. Harusnya kamu dirawat di klinik, tapi Bapak bilang di sini aja."

Mataku yang menatapnya berkedip pelan. "Kamu ... kapan datang?"

"Semalam."

"Belum pulang?"

Lelaki itu menggeleng. Aku melihat kecanggungan di caranya menatap. Membuatku tersenyum karena menganggap itu sebagai sinyal kalau dia sudah gak marah.

"Udah gak salah paham?" Aku menyuarakan pertanyaan.

"Aku nggak salah paham, Bi. Yang aku lihat semua kenyataan."

Dahiku berlipat. "Tapi aku gak selingkuh."

"Kamu jalan sama laki-laki lain tanpa izinku. Pakai acara dandan lagi. Udahlah, nggak usah dibahas sekarang. Kamu makan aja dulu."

Jangan dibahas sekarang, artinya dia masih belum selesai dengan masalah itu? Kenapa sulit sekali membuatnya mengerti? Aku gak main mata dengan Pak Aksa di belakangnya.

Aku dan Pak Aksa hanya pergi ke resepsi. Sebagai teman. Gak lebih.

Rexi menyuapiku. Selama makan, aku gak mengatakan apa-apa karena masih kesal. Ternyata dia gak mengubah pendapatnya. Masih saja kukuh kalau aku sudah berselingkuh.

"Udah, kamu pulang aja." Melihatnya menatapku dengan sorot menuduh sangat membuat gak nyaman.

Rexi menaruh mangkuk bubur yang sudah kosong di nampan. Dia menatapku tajam. "Kamu nggak suka aku di sini?"

"Mau ngapain? Mau nuduh aku selingkuh lagi?"

Lelaki itu diam. Cukup lama dia hanya menatapiku, sebelum akhirnya bersuara.

"Kamu nggak lupa kalau kita akan menikah, 'kan, Bi?"

"Memangnya kenapa?" balasku galak.

"Dari sikap kamu, aku merasa kalau kamu lupa akan itu. Kalau kita masih pacaran, aku rasa wajar kalau kamu masih melirik laki-laki lain. I--"

"Aku juga perlu mempertimbangkan masa depanku!" selaku dengan suara lantang.

Kalimat melirik laki-laki lain yang barusan Rexi suarakan membuat emosiku gak bisa ditahan untuk gak meledak.

Tadinya sudah akan berbaring, aku kembali duduk tegak. Aku menatap Rexi gak kalah tajam. Memang dia saja yang bisa menunjukkan rasa kesal?

"Ini terlalu cepat. Aku udah bilang, sebulan pacaran gak cukup untuk kita saling mengenal. Tapi, kamu keras kepala. Apa salah kalau aku ragu? Menikah itu seumur hidup dan aku gak mau seumur hidup sama orang yang salah."

Dengan suaranya yang bernada tenang, Rexi menyahut, "Aku nggak maksa kamu, Bi."

Ubun-ubunku langsung seperti terbakar. Apa sekarang dia sedang menyalahkan aku?

"Kamu secara gak langsung udah ngedesak aku!"

"Terus? Kamu maunya apa sekarang?"

Kan. Dia lempar tanggungjawab. Kenapa jadi tanya mauku apa? Seolah dia adalah pihak yang selalu mengalah saja.

"Aku butuh memikirkan ulang rencana pernikahan ini."

Usai aku bicara, Rexi melukis senyum sinis. Pria satu ini tahu benar caranya membuatku merasa direndahkan.

"Pasti karena dosen itu, 'kan, Bi? Kenapa? Kamu merasa kalau dia lebih baik dari aku? Masa depan sama dia lebih cerah, ketimbang aku yang cuma montir bengkel?"

"Aku gak bilang kayak gitu!"

"Terus? Apa yang bikin kamu perlu memikirkan ulang rencana pernikahan kita? Kamu bilang sebulan terlalu cepat? Kamu kenal dia baru beberapa minggu, Bi. Itu pun bukan pacaran dan dia berhasil bikin kamu ragu?"

Kalimat panjang lebar itu membuat ekpsresiku membeku. Munafik kalau perkatan tadi gak menohok. Namun, benarkah aku sudah sejauh itu?

Aku ... sungguh sudah berpaling dari calon suamiku? Selingkuh? Aku?

....

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang