22 - Plot Twist

363 66 9
                                    

Karma dibayar kontan.

Pernah mendengar itu? Aku pernah. Dan sekarang sedang mengalaminya.

Kemarin itu, niatku adalah mengerjai Rexi. Sedikit saja. Ingin tahu sampai mana dia bisa bersabar menghadapi aku, kalau sedang dalam mode menyebalkan.

Tes kecil-kecilan itu sama sekali gak memengaruhi keputusan, karena memang aku sudah yakin. Pada Pak Aksa aku juga sudah memberi jawaban, kalau aku menolak dia.

Aku gak sakit kemarin. Cuma pura-pura. Namun, sekarang aku benar-benar sakit. Dan sakitnya bukan di kepala atau perut, tetapi di dada. Sakitnya luar biasa, sampai susah napas dan pengin mengamuk sambil cakar-cakar tembok.

Gila.

Ini terlalu tiba-tiba. Terlalu buruk. Dan terlalu membingungkan. Terlalu gila.

Aku bisa gila karena rasanya ingin sekali marah, ingin sekali menangis dan ingin sekali kabur dari semua orang di saat bersamaan. Kabur sambil teriak 'Dunia ini kejam!'.

Tadinya, aku dan Rexi akan pergi menonton film. Dia gak menjemput ke rumah, aku yang datang ke rumahnya. Sekalian mengantar buah tangan dari Ibuk untuk tante Samara.

Sewaktu aku dan tante Samara mengobrol, ada perempuan datang. Perempuan cantik, dengan wajah basah karena air mata. Dia langsung memeluk tante Samara.

Firasatku sudah buruk saat tante Samara menyebut nama perempuan itu. Artinya, tante Samara kenal. Dan firasat itu jadi benar saat perempuan yang menangis itu mengutarakan niatnya datang.

Perempuan itu ingin meminta bantuan.

"Aku udah nggak kerja, Tante. Aku nggak bisa biayain hidupku, apalagi membesarkan Ferdi. Aku nggak bisa membesarkan Ferdi sendirian lagi."

Ferdi? Siapa Ferdi ini? Kenapa dia harus dibesarkan?

"Tante tidak mengerti apa maksud kamu, Sofi."

Rexi yang habis berganti baju muncul di ruang tamu. Serupa dengan tante Samara, dia terlihat terkejut dengan kehadiran perempuan bernama Sofi ini.

"Mau apa kamu di sini?" Nadanya bertanya memberi kesan kalau dia gak suka Sofi datang.

Aku makin gusar. Tahu-tahu telapak tanganku basah. Kepalaku terus diisi pertanyaan soal siapa perempuan ini.

"Maafin aku, Rexi. Tapi, aku udah nggak tahu harus minta tolong siapa. Aku nggak mungkin biarin Ferdi jadi gelandangan atau kelaparan."

Rexi duduk. Dia terlihat siap mendengar cerita. Di wajahnya, aku melihat gusar yang serupa denganku.

Meratapi nasibnya beberapa saat, Sofi menyuarakan headline utama di pertemuan malam ini.

"Ferdi ... dia anak kamu."

Ruang tamu rumah Rexi mendadak sepi. Seolah gak ada satu pun orang di sana. Namun, petir meledak di kepalaku. Badai mengamuk. Aku merasa seperti babak-belur, padahal gak lagi berkelahi dengan preman.

Anak? Rexi punya anak? Wah! Hebat! Ini berita besar.

Untuk sesaat aku merasa kehilangan fokus. Aku bingung ada di mana, mau ngapain dan aku ini siapa. Namun, keadaan itu berangsur membaik seiring dengan terdengarnya penjelasan dari perempuan bernama Sofi itu.

Ternyata, Sofi adalah mantan kekasih Rexi. Persis sebelum aku. Dan sekarang, perempuan itu sudah di-PHK dari pekerjaan. Dia kehilangan mata pencarian dan terpaksa mendatangi Rexi untuk minta tolong ditampung beberapa waktu, sampai menemukan pekerjaan baru.

Aku sebenarnya sudah ingin membalas. Rexi itu juga pengangguran sekarang. Dia salah tempat kalau ingin meminta pertolongan. Namun, fakta kalau Rexi punya tanggungjawab mutlak bernama Ferdi membungkamku telak.

Yang bisa kulakukan hanya tersenyum. Tersenyum miris. Menertawai nasib. Kenapa mirip jalan cerita di novel bergenre angst? Apa aku lupa menyetting kisah hidup di mode romansa dan humor saja?

Gila juga ternyata. Jago juga ternyata Rexi ini. Dia bisa punya anak, sebelum menikah. Apa jangan-jangan, sebenarnya dia sudah menikah, tetapi gak memberitahu aku?

"Rexi?" Aku tanpa sadar bersuara, memecih hening yang terasa menyesakkan. "Kamu udah pernah nikah?"

Rexi menoleh dan menatapku dengan dahi berkerut. Emosiku langsung naik. Pria ini, apa dia sebenarnya penipu? Aku percaya sepenuhnya pada dia, dan dia memberi ini sebagai balasan?

"Nggak, Bi. Aku bisa jelaskan. Kamu tolong tunggu sebentar."

Aku geram. Beranjak dari kursi, aku menyahut, "Gak. Enak aja nungguin kamu. Kamu selesaikan aja ini dulu. Aku mau pulang!"

Pamit dengan kasar padanya, aku berusaha tetap sopan pada tante Samara. Beliau memintaku untuk bersabar dan menunggu Rexi menjelaskan. Aku mengiyakan saja, yang penting segera pergi dari sana.

Aku gak mau dilihat menangis oleh siapa pun, hanya karena tahu kalau Rexi sudah punya anak dari perempuan lain. Gak sudi! Aku bukan istri tersakiti kayak di sinetron.

***

Aku melirik jengkel pada Bapak yang sedang mengikat rambutku ke atas. Mau dibuat seperti pohon salak katanya. Beliau kesal karena beberapa hari ini aku membiarkan rambut terurai, mirip Sadako.

Habis mau bagaimana? Aku gak berselera melakukan apa pun. Semenjak kejadian di rumah Rexi, semua hal tampak gelap. Suram.

Ibarat membaca novel. Sudah yakin akan berakhir bahagia, eh, ternyata si penulis mempermainkan dengan menyuguhkan episode penutup yang menyedihkan. Plot twist! Kentang!

Mendadak semua rencana yang sudah kususun rapi, jadi kacau. Hancur. Besar kemungkinan akan batal. Aku gak akan jadi menikah.

"Kenapa kamu, Bi?" Selesai mengikat rambutku tepat di atas ubun-ubun, Bapak duduk.

"Kenapa apa?" tanyaku sok gak mengerti.

Beliau pasti sadar kalau beberapa hari ini aku jarang bicara dan lebih banyak melamun. Nulis juga gak. Paling sering duduk sendirian, sambil bengong.

Aku sengaja gak bicarakan apa-apa sama Bapak dan Ibuk. Aku saja belum bisa menerima dengan baik dan berdamai dengan keadaan. Gimana bisa Bapak dan Ibuk melakukan itu?

Rexi juga belum menghubungi lagi. Terakhir kami beinteraksi itu lewat telepon. Itu pun dia gak mengelak dari tuduhan Sofi. Aku malah dapat fakta baru kalau ternyata dia lumayan bebas waktu pacaran dengan Sofia.

Gila.

Aku rasanya mau gila. Kok Rexi tega, ya? Selama ini dia bahkan gak penah aneh-aneh. Jangankan sebebas sampai tidur bersama. Sekadar pegang tangan saja, rasanya bisa dihitung berapa kali kami melakukannya.

Kalau sudah begini, gimana? Aku sudah telanjur mengambil keputusan kalau akan memilih dia. Apa ditarik lagi saja keputusan itu?

Pasti rumit. Pertama, tabungan sudah aku kasih ke dia. Ribet kalau sampai tengkar karena minta uangnya balik. Kedua, kalau rencana pernikahan batal, apa aku dan keluarga gak akan malu? Terlebih Bapak dan Ibuk. Dan ketiga ....

Aku gak rela. Rasanya seperti dicurangi. Rexi dan Sofi sudah putus. Sekarang,  Rexi milikku. Kenapa Sofi harus datang lagi dan berusaha merebut dia? Malah bawa ekor segala. Secara logika, Rexi pasti akan pilih mereka, dibanding aku.

Aku dibuang? Dicampakkan? Kok, ya, sedih?

Aku jadi berpikir. Apa ini bukti kalau keputusanku memilih Rexi daripada Pak Aksa adalah salah? Apa harusnya aku memang memilih Pak Aksa saja?

Apa sejak awal mengiyakan ajakan Rexi menikah adalah keliru? Harusnya kutolak saja? Waktu bisa diulang, gak?

Aku mau ralat Yes kemarin. Mau bilang No saja. Di mana mencari mesin pemutar waktu? Aku mau pinjam.

....

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang