Seumur hidup, aku gak pernah menangis cuma karena laki-laki. Gak sudi. Memang, untuk apa kaum jantan, apalagi yang jahat, ditangisi? Namun, hari ini aku melakukan itu.
Aku menangisi seorang laki-laki. Di pinggir jalan, aku menangis seorang diri, di bawah rintik hujan yang turun deras. Pilu sekali, menyedihkan.
Beberapa saat lalu, aku habis dari rumah Rexi. Niatnya ingin bertemu tante Samara demi mencari tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi. Namun, pemandangan yang membuat perih mata langsung menyambut ketika aku tiba di sana.
Ada Rexi. Pria itu tengah menggendong seorang anak yang menangis. Kemudian, di sebelah Rexi ada Sofi. Perempuan itu tengah memegangi dot susu dan membujuk si anak yang menangis untuk minum.
Sebuah gambaran keseharian biasa sebuah keluarga. Keluarga manis, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Lalu, tahu-tahu tangisku meledak melihat itu.
Niatku menemui tante Samara adalah demi membuat jelas keadaan. Sekalian menekankan kalau aku gak rela Rexi balikan dengan mantannya itu, sekalipun mereka punya anak. Namun, apa aku tega?
Apa aku tega memisahkan anak dari ayahnya? Aku tega merebut Rexi dari Sofi? Membiarkan perempuan yang sedang menderita itu makin terpuruk karena tumpuan satu-satunya yang ia punya aku ambil?
Kok, ya, dilema? Kok, ya, sulit?
Pada akhirnya, aku gak menampakkan diri pada tante Samara atau Rexi. Sebelum dilihat mereka, aku segera pergi. Dan gak langsung pulang, aku di sini. Jongkok di pinggir jalan, menangis dan ditumpahi air hujan.
Semalam aku sudah menimbang. Rasanya bukan keputusan tepat kalau aku membatalkan rencana menikah karena ini. Sofi adalah masa lalu Rexi. Memang, siapa yang gak punya masa lalu?
Dan juga, masalah lelaki itu punya anak dengan perempuan lain .... Agak geram, agak sedih, tetapi mau bagaimana? Menerima seseorang, artinya harus siap menerima semua yang ada pada dia seluruhnya, 'kan? Termasuk menerima anak itu.
Aku siap. Aku siap. Aku siap.
Meski bukan si kotak kuning, aku berusaha optimis. Percaya diri bisa menghadapi ujian yang ada. Namun, melihat pemandangan di rumah tante Samara, seketika rasa yakin itu runtuh.
Aku gak sanggup. Rasanya jahat sekali kalau memilih terus melanjutkan rencana pernikahan. Sofi dan Ferdi sedang membutuhkan Rexi. Dan tempat Rexi memang harusnya ada bersama mereka.
Lalu, aku bagaimana? Aku gak jadi menikah dengan Rexi? Aku ditinggalkan? Gak mau.
Merasa puas menangis, aku berdiri dari jongkok. Niatnya cari taksi. Namun, sebuah mobil tahu-tahu berhenti di depanku.
Pak Aksa turun dari mobil itu. "Ngapain di sini, Abigail?"
Aku gak menjawab. Pun, menurut saja sewaktu dituntun untuk masuk ke mobilnya.
"Saya antar kamu pulang, ya."
Mengangguk saja, aku memalingkan wajah ke jendela. Inginnya gak menangis lagi, tapi gak bisa. Alhasil, sampai tiba di rumah aku masih menangis. Beruntung bisa meredam sejenak, sewaktu akan masuk ke rumah. Aku gak mau ditanyai dan belum siap menjelaskan semua.
Gak hanya aku. Bapak dan Ibuk pasti kecewa berat kalau tahu apa yang sudah Rexi lakukan.
***
Habis sarapan, aku duduk di teras. Ibuk sebenarnya menyuruh menyapu halaman. Namun, aku malas. Gak ada tenaga.
Sekarang, hal yang paling enak dilakukan itu melamun. Meratapi nasib, sambil menunggu kapan bom waktu yang kusimpan akan meledak.
Rexi masih belum mengabari. Kemarin, aku sempat ingin menghubungi. Namun, terlalu takut mendengar keputusannya sekarang.
"Kamu sakit, Abigail?"
Aku menoleh dan menemukan Pak Aksa di teras sebelah. Padanya, aku menggeleng.
Pria itu menatapiku lama. Gak mau ketahuan menyembunyikan sesuatu, aku gegas menatap ke depan lagi.
"Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa bilang saya, Abigail. Menolak saya bukan berarti kita tidak bisa punya hubungan apa pun, 'kan? Bagaimana juga, kita tetangga."
Aku mengangguk, masih gak berani menatapnya. Kuceritakan pun, rasanya Pak Aksa gak akan punya solusi. Lagipula, aku gak mau menambah masalah. Nanti, dituduh mendua lagi.
Pak Aksa berangkat. Sepertinya dia ada kelas pagi. Aku pun akhirnya beranjak dari kursi, lalu melakukan perintah Ibuk.
Halaman baru setengah tersapu saat aku mendapati Rexi dan sepeda motornya memasuki pekarangan. Pria itu melirik ke sini, aku merasakan tangan mulai gemetar.
Rexi mematikan mesin motornya. Pria itu melepas helm. Kami berpandangan sebentar, lalu dia menyerahkan sebuah bungkusan plastik.
"Lontong, Bi. Tadi aku beli dan ingat kamu. Kamu suka lontong ini."
Canggung, aku mengambil buah tangannya. Gak mengucapkan terima kasih, karena takut bicara sedikit saja, aku bisa menangis meraung-raung.
Mendadak aku berpikir. Nanti, kalau dia balikan dengan Sofi, siapa yang akan membawakan lontong untukku? Siapa yang akan membelikan martabak dan repot-repot mengantar, walau sedang sibuk kerja?
"Tolong tunggu sebentar lagi, ya, Bi. Nanti, aku cari waktu untuk kita bisa bicara."
Bukan itu yang mau kudengar. Apa susahnya dia langsung konfirmasi saja kalau Ferdi bukan anaknya? Apa karena benar jika Ferdi itu adalah anak kandungnya dengan Sofi?
"Aku lagi sibuk di bengkel."
Aku mengangguk. "Fokus aja sama bengkel. Jangan cemaskan hal lain dulu." Aku berusaha tampil waras dan bijaksana. Aslinya, aku sudah ingin menangis dan mendesaknya mengatakan yang sebenarnya.
Rexi memakai kembali helm. "Aku berangkat, ya, Bi. Dimakan lontongnya. Jangan begadang."
Aku memicing. "Dari mana kamu tahu aku begadang?"
Rexi menunjuk wajahku. "Bawah matamu hitam. Mukamu juga kelihatan lesu."
Aku menatapnya lama. Banyak sekali yang ingin kutanyakan. Namun, satu yang paling mendesak. Apa benar dia akan meninggalkan aku?
Gak tahan dengan perasaan sedih yang membuncah, aku meletakkan sapu. "Turun sebentar, Rex," pintaku padanya.
Rexi turun dari sepeda motor, aku langsung memeluknya. Aku baru sadar kalau aku rindu dia. Meski menyebalkan, dia ternyata bisa membuatku rindu.
Aku gak menahan air mata. Melepas pelukan, aku memegangi wajahnya yang sudah bebas dari helm. "Dengar, aku udah buat keputusan."
Aku gak mau ditinggal dia. Entah sejak kapan, tetapi aku mulai merasa kalau aku gak bisa berpisah dengan dia.
"Semua orang punya masa lalu, 'kan? Aku juga, kamu pun begitu. Sofi itu masa lalumu. Gak seharunya itu jadi penghalang kita untuk bersama, 'kan?"
Rexi gak menjawab. Dia hanya menatapiku.
"Aku tahu, kamu punya anak dari dia. Aku gak pa-pa. Aku bisa, aku akan berusaha menerima. Kamu boleh biayain Ferdi, itu tanggungjawab kamu. Tapi ... tapi kamu gak boleh balikan sama ibunya."
Rexi dan Sofi sudah berpisah. Artinya, mereka sudah merasa ada ketidakcocokkan. Jadi, kenapa harus balikan?
"Kamu gak boleh balikan sama ibunya Ferdi. Balikan sama mantan lagi gak nge-trend. Ya?"
Aku tahu ini terdengar sangat menggelikan dan menyedihkan. Aku yang dulu gak pernah sudi menangisi laki-laki, kali ini meminta. Namun, aku bisa apa? Mempertahankan ego demi kehilangan Rexi agaknya lebih bodoh daripada menangis dan memohon agar pria itu gak pergi.
Iya, 'kan? Iya saja!
....
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Yes?
RomanceNiatnya ingin cari suami kaya raya, minimal CEO. Atau bos preman galak, tetapi bucin juga boleh. Namun, hidup itu kenyataan. Dari banyaknya pria di dunia, ada satu yang nekat ingin menghabiskan hidupnya denganku. Namanya Rexi. Ganteng, meski gak pu...