8 - Dulu, Ada Nenek Sihir ...

322 66 5
                                    

"Kamu, tuh, kenapa, sih? Teman datang bukannya senang malah jutek?"

Ibu mengomeliku setelah Serena pulang. Aku sudah bisa menebak ini. Ibu memang paling anti kalau melihatku berlaku sombong pada orang.

"Dia bukan temanku, Ibuk."

Entah harus berapa kali aku memberitahu itu pada Ibuk. Sudah kubilang, Serena itu bukan teman. Namun, Ibuku malah gak ingin percaya.

"Lain kali jangan begitu."

"Ibuk itu pura-pura gak tahu apa gimana? Dari caranya ngomong dan topik yang dia bahas, kentara sekali kalau dia cuma mau lagi pamer."

"Terus?"

Alisku terangkat tinggi. "Terus?"

"Apa karena orang pamer, kita boleh bersikap nggak sopan?"

Mataku menyipit. Dari caranya berucap, Ibuk seolah tahu kalau Serena itu memang pamer.

"Ibuk tahu dia pamer?" tanyaku hati-hati.

"Tapi, bukan berarti kita harus bersikap nggak sopan, 'kan? Apa susahnya menanggapi? Memberikan apa yang dia harapkan?"

Kulihat Ibu tersenyum simpul. Mataku mengerjap. Apa ini? Maksud Ibu apa?

"Lain kali jangan begitu."

Usai mengatakan itu, Ibu pergi. Wah, wah. Aku belum berhenti terheran. Sangar juga ibuku.

Kalau benar beliau hanya berusaha memberikan apa yang Serena mau, itu artinya saat mengobrol tadi, dia gak benar-benar kagum. Apa itu artinya Ibu gak menganggapku lebih rendah dari Serena?

Semoga saja begitu.

***

Serena ini sepertinya sedang merencanakan sesuatu yang buruk. Setelah dia bertamu tanpa diundang, kali ini dia mengundangku ke rumah Pak Aksa. Makan bersama, untuk merayakan karena kami bertemu lagi katanya.

Mengada-ada. Untuk apa? Aku dan Pak Aksa gak dekat. Dengan dia, dulu kami berteman. Sekarang sudah gak. Aku jelas menolak, gak akan datang. Namun, karena dipaksa Ibuk, mau tak mau aku datang ke rumah Pak Aksa malam ini.

"Silakan duduk, Abigail."

Aku sengaja menarik kursi di sisi kiri, bersebrangan dengan dia.

"Silakan dinikmati duluan. Pak Aksa baru nyampe, masih mandi."

Gak mau berlama-lama di sini, aku membalik piring, lalu mulai menikmati apa yang dihidangkan.

"Kamu masih berhubungan sama Pak Ridwan."

Tanganku yang hendak mengambil nasi mengambang di udara. Kutatap dia tajam. Jadi, ini tujuannya mengundangku?

"Abigail sudah datang?" Pak Aksa bersuara sembari menarik kursi untuknya. Pria itu duduk, lalu melipat kening. Kurasa karena aku yang masih memandang Serena dengan mata melotot.

"Yang aku dengar, kamu cukup dekat dengan Pak Ridwan, 'kan?" Serena melanjutkan.

Gak menahan diri, aku menjauhkan piring hingga gak sengaja menabrak salah satu mangkuk dan menimbulkan suara.

"Tujuanmu mengundangku makan adalah untuk membicarakan ini?" tanyaku langsung.

Serena tersenyum sok manis. "Aku hanya bertanya, Abigail. Yang aku dengar, kamu dan Pak Ridwa cukup dekat dulu."

Perempuan dengan lipstick warna merah jambu itu menoleh pada Pak Aksa. "Itu, loh, Mas. Dosen mata kuliah Matematika Ekonomi. Dulu, Abigail cukup dekat dengan Pak Ridwan."

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang