Bapak pernah bilang. Cinta itu bukan segalanya di pernikahan. Namun, setidaknya kita harus cinta sama pasangan yang kita nikahi.
Cinta? Rasanya aku belum bisa bilang begitu. Entah itu pada Rexi atau Pak Aksa, yang aku rasakan sepertinya baru sekadar tertarik dan suka. Dengan Rexi baru satu bulan lebih, sedangkan bersama Pak Aksa baru beberapa minggu. Terlalu dini untuk menganggap itu cinta, 'kan?
Menikah itu hendaknya sekali seumur hidup. Karenanya, harus dipikirkan matang-matang. Selagi di warung kemarin, saat Pak Aksa menuntut jawaban, aku membayangkan.
Mana lebih baik? Seumur hidup bersama Pak Aksa si lelaki idaman? Atau seumur hidup bersama Rexi si tukang mengatur?
Sekali lagi, mereka sama-sama baik. Instingku bilang, kalau aku waras, kalau sikap mereka gak berubah sampai bertahun-tahun kedepan, aku agaknya bisa berkompromi selama seumur hidup. Masalahnya, siapa yang bisa menjamin sikap seseorang gak akan berubah? Dan siapa yang bisa memastikan apa yang terjadi di masa depan?
Bagaimana kalau aku yang bosan? Pak Aksa ini sulit sekali ditebak ekspresinya. Bagus kalau aku selalu sabar dan bersedia menanyai dia dengan penuh perhatian soal apa yang dia mau. Kalau gak? Bisa saja aku salah paham dan bisa saja itu menjadi masalah yang memantik ribut.
Aku juga belum bertemu dengan keluarga Pak Aksa. Bagaimana kalau keluarganya gak setuju padaku? Gimana pun, aku ini gak sarjana, gak sepadan sama Pak Aksa.
Bagaimana kalau nanti aku mendadak gak tahu diri setelah menikah dengan Rexi? Harusnya cukup, nanti aku malah mempermasalahkan gajinya. Belum lagi, dia itu sama sekali gak manis. Memuji saja jarang.
Belum lagi aku merasa kalau adiknya Rexi gak terlalu menyukaiku. Bisa-bisa kami ribut seperti drama-drama di novel soal ipar yang gak akur.
Ini membuat pusing. Untungnya, ada satu momen yang tiba-tiba merasuk ke pikiranku kemarin, sewaktu di warung bakso bersama Pak Aksa. Jadinya, aku bisa memberi jawaban pada Pak Aksa.
Pulang dari warung bakso malam itu, aku gak langsung bisa tidur dengan tenang. Aku lagi-lagi harus memikirkan hal lain, hingga akhirnya baru bisa lelap pukul 1 dini hari.
Mengorbankan waktu tidur, aku sudah punya keputusan sebenarnya. Kemarin waktu minta Rexi datang, sebetulnya bisa kuberitahu. Namun, keinginan isengku berada di level tertinggi. Karenanya, kuputuskan untuk bicara pada si calon hari ini.
"Tabunganmu ada berapa?" Muncul di ruang tamu, aku langsung menyuarakan tanya itu.
Bapak yang sedang menonton langsung mendelik. Gak mau repot menjelaskan, aku duduk di samping Rexi.
"Tabungan, Bi?" Dia bertanya, tapi aku melihat matanya berkeliaran. Dia sedang mengkalkulasi banyak hal.
"Dana untuk nikah." Aku bertanya lebih spesifik.
Rexi menegakkan punggung. Matanya menyorot serius padaku.
"Lima belas, Bi."
Aku yang duduk di sampingnya mulai menghitung. Bisa kurasakan atmosfer di ruang tamu berubah tegang. Gak cuma Rexi, Bapak juga demikian. Beliau berulang kali kudapati melirik ke sini, seolah mewanti-wanti agar aku gak melakukan sesuatu yang salah.
Usai mengira-ngira, aku menyerahkan ponsel pada Rexi. "Coba periksa. Apa itu benar?"
Rexi sempat menatapku dengan alis bertaut, sebelum akhirnya membaca apa yang aku tunjukkan. Butuh sekitar beberapa menit sampai lelaki itu mengangguk.
"Bisa dipakai estimasi ini," katanya.
"Oke." Aku menarik napas dalam. "Aku punya tabungan lima juta. Digabung sama punyamu, jadinya berapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Yes?
RomanceNiatnya ingin cari suami kaya raya, minimal CEO. Atau bos preman galak, tetapi bucin juga boleh. Namun, hidup itu kenyataan. Dari banyaknya pria di dunia, ada satu yang nekat ingin menghabiskan hidupnya denganku. Namanya Rexi. Ganteng, meski gak pu...