19 - Pesaing

339 57 7
                                    

"Jadi, mikirnya udah selesai?"

Yah. Dia tembak langsung. Pertanyaan ini yang sejak tadi aku hindari. Sekarang, harus jawab apa?

"Gak usah bahas itu sekarang. Diaremu urus dulu." Gak ada pilihan lain, aku berusaha mengelak.

"Masih butuh waktu lebih lama?"

Aku menghela napas. "Iya." Biar dia gondok sekalian.

Rexi gak bicara lagi. Namun, aku bisa lihat air mukanya berubah keruh. Makin tampak jelek dia. Sudah pucat, ekspresinya seperti orang mau menangis pula.

"Cewek tadi itu cantik, ya?" pancingku.

"Yang mana?"

"Yang di bengkel tadi. Kata teman kamu, dia itu anak yang punya bengkel. Kenapa gak dipacarin aja? Masih muda juga."

Dia menggeleng. Buburnya ludes, aku memberikan obat yang harus dia minum.

"Gak doyan daun muda? Lagi musim tahu. Gak pengen dipanggil Daddy?"

"Orang gila," balasnya seraya berbaring.

Aku tertawa. Entah dia sengaja atau gak, tetapi reaksinya ini sungguh membuat hati tenang. Dia terlihat benar-benar gak peduli.

"Kamu gak lagi pura-pura, 'kan, Rex? Masih baru lulus SMA itu tadi. Gak doyan cewek kinyis-kinyis dan lugu?"

"Bi, kalau kamu ada waktu sama tenaga, mending pikirkan cara untuk ngilangin mulas sama begah di perut aku." Alisnya menyatu saat mengatakan itu.

Mengangguk saja, aku mengambil minyak kayu putih yang tadi diberikan tante Samara. Aku balurkan itu di perutnya.

"Kata teman kamu tadi, kamu ngebentak cewek itu. Kamu sejak kapan bisa ngebentak orang?"

Padaku, bisa dihitung berapa kali dia menaikkan suara. Kalau benar-benar marah seperti terakhir kali kami berdebat, dia akan memilih diam, kemudian pergi. Wajar aku heran dengan penuturan temannya tadi.

"Bisalah."

"Kenapa kamu bentak dia?"

"Dia mau pegang tanganku." Rexi memejam.

Aku membolakan mata. Hanya karena itu?

"Cuma karena dia mau pegang tangan kamu?"

Rexi mengangkat kelopak matanya. Pria itu menatapku tajam. Dia perlihatkan tangan yang dijarinya tersemat cincin emas putih.

"Di jariku udah ada cincin. Udah terikat. Pantang dilirik, lebih-lebih disentuh orang lain."

Aku menelan ludah. Kenapa rasanya seperti baru ditampar?

"Aku berpegang sama prinsip itu. Nggak tahu kalau orang lain." Ada lirikan sinis di caranya menatapku.

"Kamu nyindir aku?"

Rexi gak menjawab. "Mikir aja, Bi. Tunangan itu bukan sekadar tukaran cincin. Ibuku nggak akan biarin kamu yang di sini, balurin minyak kayu putih ke perutku, sementara beliau masih bisa melakukannya. Kecuali ...."

"Kecuali?" Aku mengejar.

"Kecuali ibuku sudah paham kalau sekarang anaknya sudah punya seseorang yang berhak untuk ngelakuin itu. Kamu berhak atas aku, dan kamu juga punya kewajiban kepadaku."

Wajahku rasanya tebal sekali. Kenapa aku gak berpikir sampai sana, ya? Kami hanya tinggal satu langkah lagi. Hanya tinggal menikah dan resmi menjadi suami istri. Dia benar. Pertunangan juga sesuatu yang sama mengikatnya seperti pernikahan.

"Bicaramu kayak orang tua," elakku demi mempertahankan gengsi.

"Sudah sepatutnya kamu  nurut sama orangtua. Nurut sama aku." Rexi menatapku dalam.

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang