Hari yang panas. Terang benderang, gerah. Aku, sebagai istri yang baik, walau sudah disakiti suami, turun dari lantai dua ruko dengan membawa seteko teh manis dingin.
Rexi masih sibuk ternyata. Malah, aku melihat dua sepeda motor lagi yang belum disentuh dia. Melihatnya tengah sibuk memutar-mutar kunci, kok, ya, kasihan?
Bengkelnya ini memang masih baru buka. Pasti pelanggannya belum terlalu banyak. Namun, mengingat Rexi sendirian yang melakukan semua pekerjaan, aku jadi iba. Dia pasti lelah.
"Teh manis dingin, Mas," kataku menggoda setelah duduk di bangku kayu panjang di depan bengkel.
Rexi hanya melirik. Gak ada senyum senang, seperti yang kuharapkan. Dia kembali menatapi ban motor yang sedang dia tempel.
"Makasih, Bi."
Oke. Marahku gak jadi. Dia masih ingat cara berterima kasih rupanya.
"Udah nggak sakit, Bi?" Saat menyuarakan pertanyaan ini, barulah bibirnya melengkung ke atas.
Itu ejekan. Aku tahu itu ledekan. Pasalnya, pagi tadi, aku merengek gak bisa jalan, karena sakit di 'situ.' Belum lagi, cara jalanku sudah mirip kera, sedikit mengangkang karena perasaan gak nyaman di 'situ'.
"Sakitlah! Kamu kira aku bohong?" balasku gak terima.
"Nanti yang selanjutnya nggak akan sakit, kok. Nanti malam mau?"
"Gak!" Aku menyahut secepat kilat. Enak saja dia mau melipat-lipatku seperti kemarin lagi. Gak sudi!
"Mana boleh nolak, Bi. Dosa."
"Dosamu! Kamu kira aku bisa dikibulin dengan kalimat begitu?"
Rexi tertawa saja. Ia kembali berkutat dengan ban bocor tadi, aku juga sibuk mengamati dia. Dia ini tiap kali sedang serius bekerja, kenapa makin terlihat ganteng, ya?
Setelah ban sepeda motor itu selesai, dia berpindah ke motor yang lain. Aku gak tahu apa yang rusak dan apa yang dia perbaiki. Gak berminat bertanya juga, karena takut mengganggu.
Aku sama sekali gak buka suara, sampai beberapa waktu. Setelah ada seorang pelanggan yang datang mengambil sepeda motornya, barulah aku bicara.
"Makan dulu, Rex. Ini udah jam dua."
"Tanggung, Bi. Ini motornya mau dipakai nanti sore katanya. Lagian, cuma mau ganti olinya."
Melihat wajahnya yang serius. Ditambah peluh di dahi dan leher lelaki itu. Lalu, urat di lengannya yang sedikit timbul, kok aku jadi senang?
Aku tiba-tiba merasa kalau aku sayang sekali pada Rexi. Cari di mana lelaki yang rajin bekerja seperti ini? Sudah begitu, ganteng pula.
Kakiku bergerak masuk. Aku naik ke lantai dua, lalu menyiapkan makanan untuk Rexi.
"Sini, aku bantu makan, ya?" tawarku setelah kembali ke lantai satu.
Rexi hanya melirik sebentar. "Nggak mau pakai sendok," katanya memerintah.
Menolong jangan setengah-setengah, aku menurut. Kubasuh tangan sebelum menyuapinya makan.
"Kamu gak merasa butuh pegawai?" tanyaku di sela-sela kegiatan menyuapinya.
Rexi menggeleng. Rahangnya mengunyah teratur, tangannya tetap bergerak mengerjakan pekerjaannya.
"Aku belum bisa pastikan omset rata-ratanya berapa, Bi."
"Memang kamu gak merasa capek lakuin semua sendirian?"
"Memang aku superhero?"
"Terus? Aku masih ada tabungan. Kalau untuk gaji satu pegawai sebulan, itu cukup kayaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Yes?
RomanceNiatnya ingin cari suami kaya raya, minimal CEO. Atau bos preman galak, tetapi bucin juga boleh. Namun, hidup itu kenyataan. Dari banyaknya pria di dunia, ada satu yang nekat ingin menghabiskan hidupnya denganku. Namanya Rexi. Ganteng, meski gak pu...