2 - Diusir

589 78 5
                                    

Seharian ini, aku gak melakukan apa-apa selain mengingat semua hal soal Rexi. Pertama kali bertemu dia, kenapa bisa sampai kami pacaran, sifat-sifat menyebalkannya dan ajakan menikah yang kemarin lelaki itu sampaikan dengan begitu mudahnya.

Rexi itu bekerja di bengkel. Aku kenal dia karena pernah menemani Amel membetulkan sepeda motor.  Saat itu Amel lupa bawa ponsel, jadi nomorku yang diberikan sebagai kontak yang bisa dihubungi.

Saat urusan motor itu selesai, Rexi mengirimi pesan yang isinya soal hal pribadi. Laki-laki itu bertanya apa aku sudah punya pacar atau sudah menikah.

Iseng, aku meladeni dia. Diluar dugaan, kami bisa berkomunikasi dengan baik. Dia masih mengirimiku pesan sampai tiga hari setelahnya. Padahal, biasanya para pria akan menggunakan jurus menghilang seribu bayangan, setelah tahu kalau aku pengangguran.

Kesan pertamaku tentang Rexi, dia laki-laki tanpa basa-basi. Apa yang menjadi tujuan atau keinginannya, akan dia suarakan secara langsung tanpa berbelit. Saat dia memintaku jadi pacar di seminggu setelah kami intens komunikasi, dia bahkan terkesan memaksa, mengejek dan bukannya meminta.

"Lagi nggak sama siapa-siapa, 'kan? Kita pacaran. Aku suka kamu."

Kalau saja gak demi status baru, aku gak akan mau nerima dia jadi pacar. Seumur hidup, baru ini ada laki-laki yang mengajakku pacaran. Entah mata Rexi sedang salah lihat atau dia lagi di fase mabuk. Aku gak terlalu penasaran kala itu. Toh, cuma pacaran.

Punya pacar, kukira akan mengalami masa berbunga-bunga. Ada yang mengingatkan makan, minum, mandi. Ada yang membawakan coklat, bunga dan hadiah. Ada yang menurunkan pijakan motor, ada yang mengajak jalan-jalan dan momen-momen manis seperti yang sering orang-orang tunjukkan di media sosial.

Nyatanya, nol besar. Mengingatkan makan, minum? Rexi sukanya mengataiku bau asem. Dibawakan coklat, bunga? Dipuji cantik saja gak pernah. Pokoknya, jauh dari bayangan. Punya pacar gak punya pacar, sama aja. Kecuali, kadang dibayari jajan, dibelikan kuota dan diomeli.

Belum lagi, Rexi itu orangnya suka sekali mengatur-ngatur. Kata dia, aku gak boleh lagi tidur lebih dari 9 jam. Padahal, tidur itu kan hobiku. Lagipula, aku bisa melakukan apa saat sedang bosan, selain turu?

Selain suka mengatur, dia juga pelit. Saat kuminta belikan tiket konser idola K-pop, dia menolak memberikan. Padahal, aku tahu kalau dia punya uang. Alasannya juga melebih-lebihkan. Katanya, aku harus tahu mana prioritas dan mana yang bukan, terlebih di umur sekarang.

Memang kalau sudah tua gak boleh menikmati hidup? Dasarnya dia memang pelit. Gak mau menyenangkan pasangan.

Setelah semua hal-hal itu, apa masuk akal kalau aku setuju menikah? Yang benar saja. Demi Tuhan, aku masih berharap punya suami sempurna.

Selama menjadi jomlo, aku bukannya  gak punya keinginan untuk punya seseorang yang spesial. Tapi, ya, begitu. Tampangku sama sekali gak menarik untuk laki-laki.

Dalam bayangkanku, ingin sekali bertemu dengan laki-laki mapan, yang punya wajah rupawan. Bos besar di sebuah perusahaan ternama yang memilih jatuh hati pada perempuan sederhana seperti aku.

Uh, pasti menyenangkan kalau itu benar-benar terjadi. Namun, kenyataan gak pernah terasa menyenangkan. Sekian lama berharap, laki-laki seperti itu gak kunjung datang. Yang datang malah yang seperti Rexi.

Bukan aku memandang Rexi rendah karena pekerjaannya. Namun, tetap saja dia bukan CEO dan aku masih punya keinginan untuk menunggu keajaiban, di mana lelaki idaman yang kaya raya akan datang dan jatuh hati padaku.

Menikah itu untuk memperbaiki kehidupan, 'kan? Kalau aku yang susah ini menikah dengan Rexi yang sederhana, apa yang akan berubah? Jadi makin buruk, besar kemungkinan.

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang