Sudah berapa lama aku hidup? Dua puluh delapan tahun. Selama ini, apa saja pencapaian yang aku punya?
Rasa-rasanya gak ada.
Hidupku biasa saja. Dasarnya, mungkin karena aku orang yang gak punya ambisi. Jadi, ya, begitu. Yang penting masih hidup.
Setelah lulus sekolah, aku pernah kuliah. Namun, karena satu dan lain hal, aku gagal jadi sarjana. Bisa dibilang, bukannya membanggakan, aku ini malah bikin aib untuk keluarga. Syukurnya, hal itu gak sampai bikin aku diusir dari rumah.
Gak punya kegiatan apa-apa, aku serius menekuni hobi menulis. Keberuntungan datang waktu aku tahu kalau hobi itu bisa menghasilkan uang. Gak banyak, gak pasti, tapi setidaknya sampai sekarang aku masih betah melakukan hobi ini.
Biasa sekali, 'kan? Apalagi soal hubungan percintaan. Berteman saja aku sulit, konon mencari pacar. Belum apa-apa, aku sudah malu duluan. Gak percaya diri menghadapi laki-laki.
Bicara soal pencapaian, rasanya aku memang gak punya. Lain dengan adik-adik yang meski cuma tamatan SMA, mereka bisa dapat pekerjaan yang baik. Amel misalnya. Dia sudah jadi supervisior di sebuah toko retil. Gajinya sudah cukup untuk membayar biaya kos dan mengirimi beberapa ratus ribu pada bapak dan ibu.
Hah, teringat hal itu, kenapa aku makin malu, ya? Terlebih ucapan Bapak tadi sore.
"Memang mau sampai kapan tinggal di rumah bapak dan ibumu?"
Mau sampai aku menumpang hidup? Niatnya, sih, selamanya saja. Menabung untuk beli rumah, sepertinya baru akan bisa terkabul setelah beberapa abda.
Jalan satu-satunya memang menikah. Namun, rasanya, aku gak punya hasrat untuk menikah. Kayak, penting, gak, sih, nikah itu? Buat apa? Nambahin masalah?
Tapi, teringat bapak dan ibu, kok, ya, rasanya egois sekali kalau berpikiran begitu. Mereka pasti malu pada tetangga dan kerabat. Sudah punya anak yang pantas menikah, kenapa masih menumpang hidup? Belum lagi, aku belum pernah bisa memberi apa-apa pada mereka.
Jadi, bagaimana ini?
Apa diterima saja ajakan Rexi menikah? Dengan begitu, aku bisa angkat kaki dari sini. Orang-orang gak memandang jelek bapak dan ibu lagi. Aku lepas dari label gak laku. Meski jatuhnya juga masih menumpang hidup, cuma sama orang yang berbeda.
Tadinya ingin melanjutkan pekerjaan, aku jadi hilang selera setelah memikirkan semua ini. Gak jadi ambil laptop, aku malah tarik selimut. Tidur sajalah. Siapa tahu bisa mimpi indah, Rexi berubah jadi anak orang kaya. Ternyata dia itu anaknya pemilik perusahaan besar mana gitu. Supaya aku lebih mudah berkata iya atas ajakan menikah darinya.
***
Jam makan siang. Bagi orang normal. Bagiku, ini jam tidur. Sayangnya, Rexi datang dan mengharuskan aku menyambutnya di ruang tamu.
Dia datang membawa 3 nasi bungkus. Satu diberikan pada ibu, satunya untuk si bungsu Rika dan satunya untuk dia. Aku gak kebagian.
Dia datang untuk makan katanya. Sekalian menagih jawaban. Haduh, malah aku belum seratus persen yakin dengan keputusan.
"Ngapain, sih, harus makan di sini? Udah aku gak dibagi." Beberapa menit diam, aku akhirnya bersuara. Kesal sekali melihat dia lahap menikmati ikan gulainya.
"Tidur nggak bikin kenyang?" ejeknya.
Malas berdebat, aku berbaring di sofa. Inginnya memunggui dia, tapi takut dia makin kesal.
"Sini."
Kedua alisku terangkat. "Apa?" Kubuat suara seperti orang mau mati. Siapa tahu dia kasihan dan membagi makanannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Yes?
RomanceNiatnya ingin cari suami kaya raya, minimal CEO. Atau bos preman galak, tetapi bucin juga boleh. Namun, hidup itu kenyataan. Dari banyaknya pria di dunia, ada satu yang nekat ingin menghabiskan hidupnya denganku. Namanya Rexi. Ganteng, meski gak pu...