5 - Skinship

463 61 1
                                    

Hari ini aku sendirian di rumah. Ibu dan adik-adik sedang pergi ke acara pesta kerabat. Sore-sore, aku duduk di teras. Saat itu kulihat Pak Aksa keluar dari rumahnya.

Terheran sebentar, aku sempat lupa kalau pria itu sekarang tetangga. Hal biasa kalau kami akan sering bertemu setelah ini. Sebisa mungkin aku bersikap biasa. Kami bertemu pandang, dia terlihat mendekat ke dinding pembatas.

"Yang jual gas di sini, di mana?"

Oh. Jadi, dia celingak-celinguk karena kebingungan mencai tempat membeli gas.

"Di pertigaan kedua," jelasku, sambil menujuk ke arah kiri. 

"Jauh dari sini?" Lelaki itu menggaruk tengkuk.

"Jalan kaki lima menit."

Pak Aksa gak bicara beberapa saat, lalu dia bertanya lagi, "Bisa masang gas?"

Ingin sekali aku tertawa usai mendengar tanya itu. Namun, demi membuatnya gak hilang muka, aku terpaksa hanya bedeham-deham halus sebagai pengalihan tawa.

Mengunci rumah, aku bersedia menemani dia membali gas. Kami pergi dengan sepeda motor. Menghabiskan waktu sekitar dua menit, kami tiba di kedai yang kumaksud.

"Tutup, Pak."

Pak Aksa kembali menaruh tabung gas di jok depan motor.

"Di depan sana ada satu lagi. Tapi agak jauh."

Tanpa berkata apa-apa, Pak Aksa menyalakan kembali mesin sepeda motornya. Kami pergi ke kedai yang satunya. Beruntung, warung itu buka dan gasnya ada.

Sambil menunggu Pak Aksa membayar gas, aku melihat-lihat jajan di sana. Ada pasta coklat harga seribuan yang menarik perhatian.

"Mau?"

Aku terperanjat waktu menyadari kalau Pak Aksa sudah berdiri di samping. Padanya aku mengangguk.

"Ambil."

Tersenyum girang, aku mengambil satu pasta coklat berbungkus merah itu. "Makasih," kataku.

Kami pun pulang. Di atas motor Pak Aksa, aku menikmati jajanan yang tadi ditraktir. Sore-sore, dapat upah usai membantu orang, kok, rasanya seperti mengulang masa kecil?

Saat gak sengaja menengok ke kaca spion, aku menemukan kalau Pak Aksa juga menatap ke sini. Dia membuang pandang ke jalanan di depan, kemudian sempat melirik dari kaca spion lagi.

Apa dia memperhatikan aku yang sejak tadi senyum-senyum? Semoga dia gak menganggap aku gila.

Setibanya di rumah Pak Aksa, aku ikut masuk ke dalam. Satu lagi bantuan yang harus kuberikan. Memasangkan selang gas-nya.

"Biasa siapa yang pasang, Pak?" tanyaku iseng.

Berdiri di sampingku yang berjongkok, Pak Aksa menjawab," Selama ini saya tinggal dengan Mama saya."

Aku mengangguk sembari menekan kepala gas. Wajar saja. Pasti, ke dapur saja dia gak sering.

"Kenapa pindah ke sini?" Aku berdiri, hendak menyalakan kompor.

"Mau hidup mandiri."

Aku menoleh dengan senyum heran. "Mandiri gimana?" Seingatku dia sudah menjadi dosen sejak beberapa tahun lalu. Mandiri yang seperti apa yang da maksud?

"Ya begini. Mengurusi diri sendiri."

Aku mengangguk  dengan senyum gak paham. Sudah enak-enak tinggal bersama orangtua, kenapa harus menyusahkan diri, sih?

Aku coba menyalakan kompor. Berhasil. Apinya menyala.

"Oke," kataku puas. Sisa pasta coklat yang tadi kusimpan di saku aku nikmati lagi.

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang