6 - Lemah!

354 67 0
                                    

"Kurang ajar."

Aku mengumpat, padahal ini masih pagi. Sembari menyapu halaman, aku kembali mengingat apa yang kemarin malam kudapat sebagai hasil dari stalking akun medsos-nya Serena.

Serena dan Pak Aksa. Mereka ternyata punya hubungan. Pa-ca-ran. Gila. Gimana bisa Pak Aksa pacaran sama perempuan itu?

Serena dan aku pernah satu kelas waktu kuliah dulu. Dia ... jahat. Serena itu perempuan jahat.

"Kenapa bisa Pak Aksa pacaran sama perempuan jahat?" Aku melempar sapu lidi ke tanah.

Kalau sapu lidi itu Serena, aku pasti akan menginjak-injaknya hingga patah. Rasanya aku gak rela waktu lihat ada foto Serena dan Pak Aksa yang terpasang di medsosnya Serena. Kok bisa?

Pak Aksa itu pria baik. Dulu, dia itu salah satu dosen yang aku tunggu-tunggu tiap minggu. Secara fisik, Pak Aksa itu sempurna. Laki-laki itu tinggi, badannya tegap dan kulitnya putih bersih.

Kurasa bukan cuma aku yang suka dia berlama-lama di kelas. Dia itu incaran banyak mahasiswi dulu. Kalau dipikir, siapa pun yang Pak Aksa mau, dia bisa dapatkan. Lantas, kenapa dia harus memilih Serena?

"Depot air di sini, di mana?"

Suara itu membuatku menengok dengan ekspresi terkejut. Untung saja yang bicara barusan Pak Aksa dan bukannya hantu.

"Apa, Pak?" ulangku sembari memungut sapu lidi dari tanah.

"Depot air." Dia berdiri tepat di belakang tembok pembatas.

"Oh, di sana. Lewat warung kemarin."

Pak Aksa gak menyahut lagi. Aku menoleh dan ternyata dia tengah menatapi.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Soal kemarin."

"Kemarin apa?"

"Saya baru tahu dari Serena kalau kamu ...."

"Gak lulus kuliah?" tebakku.

Kelihatan sekali dari wajahnya dia sedang merasa gak enak. Pasti, Serena sudah menceritakan apa yang terjadi pada pacarnya ini.

"Maaf kalau kemarin kami menyinggung kamu." Aku bisa menangkap ada rasa menyesal di caranya berucap.

Jadi, aku mengangguk. "Mau diantar ke depot air?" kataku menawarkan. Setelahnya, aku bertanya pada diri sendiri. Kenapa baik sekali aku pada si tetangga baru ini?

Namanya juga tetangga. Kita memang harus saling menolong dengan tetangga. Apalagi dengan tetangg ayang sudah pernah dikenal sebelumnya. Ya, 'kan?

"Nggak sibuk?"

Aku menyapu dengan cepat. "Habis ini, ya. Nanti kalau ditinggal belum beres, ibu bisa ngamuk."

Pak Aksa setuju. Sepuluh menit kemudian, kami pun pergi menuju depot air minum. Jika kemarin aku dibelikan satu buah pasta coklat, kali ini Pak Aksa mentraktir dua. Sebagai ucapan terima kasih, aku berikan dia satu.

"Saya nggak pernah makan ini." Dia mengatakan itu sambil menatapi sebatang pasta coklat yang kuberikan saat kami sudah kembali ke rumahnya.

Aku gak bisa menahan senyum. "Enak itu, Pak. Dimakan aja. Aku balik, ya."

"Kamu mau pergi bekerja?"

Aku menggeleng. "Aku gak kerja. Aku pengangguran."

Saat sudah menapaki halaman rumah, Pak Aksa menyahut, "Nggak percaya. Mana ada orang nggak kerja wajahnya seperti kamu."

Pelan-pelan kepalaku menoleh. "Memang, wajahku kenapa?"

"Nggak ada beban?"

Padanya aku tersenyum kuda. "Bukan gak ada beban. Ini wajah orang gak ada malu."

Pak Aksa hanya tersenyum, kemudian pergi membawa galon airnya yang sudah terisi, masuk ke rumah.

***

Kadang, aku sangat membenci diriku sendiri. Banyak sekali yang gak bisa aku lakuin di dunia ini. Salah satunya, naik motor.

Tengah malam, Ibu terdengar menjerit takut. Aku yang memang belum tidur segera mendatangi kamar ibu. Ternyata, Bapak pingsan.

Harusnya, ini bisa diselesaikan dengan cepat, tanpa harus ada drama menangis. Namun, sayangnya aku ini banyak sekali kekurangan. Aku gak bisa membonceng Bapak dan membawanya ke rumah sakit.

Panik, yang terpikirkan pertama kali adalah menghubungi Rexi. Beruntung pria itu masih bangun dan menjawab ponselnya.

"Bapak pingsan. Aku gak bisa bawa ke rumah sakit," terangku sambil menangis.

Rexi bilang akan datang. Aku disuruh tenang dan sambungan telepon itu diputus. Aku makin kalut karena ibu terus-terusan berusaha membangunkan bapak sambil menangis.

Gak bisa. Ini gak bisa dibiarkan lama-lama. Siapa yang tahu apa yang sedang terjadi pada Bapak? Bagaimana jika beliau harus segera mendapat penanganan medis dari dokter?

Aku pun segera bergegas keluar. Satu rumah terlintas di benakku. Aku akan ke rumah Pak Aksa.

"Pak Aksa!" Aku berteriak dari depan pagar rumahnya. "Pak Aksa!"

Dua menit berlalu, Pak Aksa keluar dari rumah dengan tampang baru bangun dan terheran-heran.

"Bapak, tolong. Bapak saya pingsan. Tolong, tolong bawa ke rumah sakit. Saya gak bisa naik motor."

Gak memberi balasan apa-apa, kulihat Pak Aksa segera berlari masuk. Setelahnya, ia langsung menyalakan mobil, lalu membantuku membawa bapak ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku terus berusaha mengingat. Apa kiranya yang membuat Bapak sampai pingsan? Beliau gak punya riwayat penyakit apa-apa. Kalau pun sakit, paling hanya demam dan batuk. Kenapa bisa sampai gak sadarkan diri begini?

Tiba di rumah sakit, Bapak langsung ditangani dokter. Aku yang sadar diri gak akan memberi kontribusi apa pun langsung menepi dan membiarkan Ibuk yang bicara dengan dokter. Kaki dan tanganku sudah gemetaran. Pandanganku juga sudah mulai gak fokus.

Aku berjongkok di depan ruang IGD. Mengatur napas yang terengah, perutku bergejolak dan aku ingin muntah. Aku berkeringat, tetapi kedinginan. Situasi seperti ini memang sulit sekali untuk aku hadapi.

Ponselku berdering. Rexi yang menelepon.

"Di rumah sakit mana?" tanyanya dengan latar belakang suara mesin sepeda motor.

"Rumah Sakit Pelita," terangku. Setelahnya, tangisku langsung lepas. "Kamu di mana? Masih lama?"

"Udah dekat. Jangan panik. Bapak udah ditangani?"

"Udah."

"Temani Ibuk, Abigail. Aku sampai sebentar lagi."

Panggilan itu terputus. Tanganku sengaja kukepal supaya bisa menahan tangis. Kenapa aku harus jadi penakut begini?

"Abigail?"

Aku mendongak dan menemukan Pak Aksa. "Kenapa di sini?" Dia tahu-tahu ikut berjongkok.

Aku menggeleng. Ditanyai begitu, tangisku malah makin menjadi. "I--Ibuk mana?"

"Lagi bicara dengan dokter. Kamu baik-baik saja?"

Susah payah aku mengangguk. "Cu-cuma gemetar."

"Kamu takut?" Pak Aksa meraih tanganku yang terkepal. "Tanganmu dingin."

Aku hanya berusaha tersenyum. Jelas aku takut. Aku gak mau terjadi sesuatu yang buruk pada Bapak. Meski dia sedikit kejam, tetap saja akan ada yang gak baik kalau dia sampai kenapa-kenapa.

Selain takut, aku juga merasa bersalah. Aku malu karena gak bisa mengurusi bapak sendiri. Kalau saja bukan karena bantuan orang, aku bahkan gak mampu bawa bapak ke rumah sakit.

"Ayahmu sudah ditangani dokter. Harusnya sekarang semua sudah baik-baik saja. Tenangkan dirimu."

"Iya." Aku menurunkan pandangan. Sudah berusaha tenang, napasku masih saja tersengal-sengal. Belum lagi debar jantung yang makin cepat. Lama-lama aku jadi sedikit sesak.

Aku gak tahu apa yang terjadi, tetapi untuk satu detik pandanganku gelap. Kupejamkan mata erat, kemudian kembali bisa melihat dengan jelas saat membuka mata. Namun, itu hanya sebentar, sebab setelahnya aku merasa kehilangan tenaga dan mengantuk.

....

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang