"Ada film yang mau kamu tonton, nggak?"
Pertanyaan Rexi itu aku jawab dengan gelengan. Kami duduk di teras sekarang. Dia datang dua jam lalu, katanya sengaja pulang cepat dari bengkel, demi bisa bertemu aku. Seminggu kemarin dia absen mengapel karena banyak pekerjaan.
"Aku ada waktu lusa. Mau jalan-jalan?" tawarnya lagi.
Aku menggeleng lagi. "Kamu pakai untuk istirahat aja, Rex. Aku juga lagi banyak kerjaan."
Rexi mengangguk saja. Tak lama, kami melihat mobil Pak Aksa masuk ke pekarangan rumahnya. Saat turun, pria itu melempar senyum simpul padaku dan Rexi.
"Itu dosen kamu dulu, 'kan?" Rexi bertanya usai Pak Aksa gak kelihatan di pekarangan.
"Iya."
"Belum nikah?"
"Belum."
"Tinggal sendirian berarti?"
Aku mengangguk. "Padahal, kalau dia mau, cewek yang spek gimana pun, pasti bisa kan, ya? Udah putih, tinggi, dosen pula. Cewek mana yang gak mau."
"Nggak doyan cewek kali." Rexi menatapku tajam.
"Apaan? Gak mungkin. Belum ketemu jodohnya kali."
"Kamu mau jadi jodohnya dia?"
Eh?
Pelan-pelan kepalaku menoleh pada Rexi. Kenapa sorot matanya makin tajam, ya? Kenapa pula itu ujung bibirnya berkedut-kedut?
"Apaan?" kataku protes dan gugup.
"Cewek mana yang nggak mau. Kamu mau sama dia? Cowok putih, tinggi, dosen. Kriteria kamu banget, kan, Bi?"
Loh? Kenapa lelaki satu ini jadi marah? Tiba-tiba sekali?
"Dibandingkan sama aku, jelas aku kalah. Udah item, cuma tukang bengkel pula. Nggak kaya." Sekarang dia malah terdengar sewot.
"Aku gak ngomong apa-apa, ya, Rexi. Kok kamu kesannya jadi tuduh aku membandingkan kamu dengan dia?" Aku gak suka caranya melotot. Seolah aku ini jahat saja.
"Nggak ngomong apa-apa, tapi kamu puji cowok lain di depan aku. Boleh begitu? Kalau aku puji cewek lain di depan kamu, kamu memangnya nggak akan marah?"
Sadar diri sudah salah, aku bungkam. Sama sekali gak menyahut. Dia juga gak mengomel lagi. Dalam diam, Rexi menghabiskan teh yang tadi aku buatkan untuknya.
"Kenapa diam?"
Yah. Diam juga salah ternyata.
"Iya, iya. Aku minta maaf. Aku gak bermaksud puji dia di depan kamu. Maaf." Aku mengalah. Daripada anak orang pulang dari sini dengan wajah ditekuk?
"Kamu serius nggak mau jalan-jalan lusa?"
Aku mengangguk. Kupalingkan wajah darinya. "Kamu bisa istirahat kalau memang libur," kataku pelan dan dibarengi perasaan bersalah.
***
Salahkan Pak Aksa. Karena lelaki itu sudah menyebutku menarik, aku jadi panasaran. Ingin tahu di mana letak menarik yang dia maksud.
Pak Aksa bersedia memberitahu, asal aku menemaninya mencari hadiah untuk keponakannya yang akan berulang tahun. Itulah kenapa aku menolak ajakan Rexi untuk jalan-jalan kemarin.
Lagipula, yang mengajak duluan, Pak Aksa. Akan gak adil kalau aku membatalkan janji dengan Pak Aksa demi jalan dengan tunangan. Iya, 'kan?
"Ada saran kado apa yang cocok?" tanya Pak Aksa saat kami sudah turun dari mobil dan hendak masuk ke mal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Yes?
RomanceNiatnya ingin cari suami kaya raya, minimal CEO. Atau bos preman galak, tetapi bucin juga boleh. Namun, hidup itu kenyataan. Dari banyaknya pria di dunia, ada satu yang nekat ingin menghabiskan hidupnya denganku. Namanya Rexi. Ganteng, meski gak pu...