Langkah Rista beradu kuat dengan lantai. Mencipta gema bising yang mengisi sudut lorong. Keadaan cukup sepi karena hari yang sudah malam. Sebagian pengunjung sudah pulang dan sebagian lain memilih menunggu di dalam.
Langkah Rista memelan seiring dengan matanya yang menangkap sosok yang terduduk dengan wajah yang ditenggelamkan pada telapak tangan.
Setelah mendapatkan pesan dari suster Veli, Rista yang baru saja terlelap karena mengerjakan tugas pun langsung menancap gas datang ke rumah sakit.
"Fer...."
Rista memanggil cowok itu. Ia melirik ke arah dalam di mana papa Ferdi tengah menangis memeluk istrinya yang terbaring dengan segala alat bantu medis yang sudah dilepaskan.
"Fer...."
Rista menyentuh bahu Ferdi yang masih bergeming. Rista tahu ini adalah pukulan terberat bagi dia. Meskipun tidak ada tangis yang keluar, siapa orang yang bisa baik-baik saja ditinggalkan oleh orang yang sangat disayang.
Ferdi tidak baik-baik saja. Saking tidak baik-baik saja hingga hanya bisa diam mematung. Terlalu dikejutkan oleh kenyataan.
"Ternyata gue nggak siap, Ta," ucap cowok itu dengan suara yang lirih. Tangan beralih pada paha dan terlihat meremas-remas.
"Padahal gue sering memikirkan hal ini, biar gue nggak kaget ketika terjadi, tapi ternyata...." Ferdi menggantungkan ucapannya, dia hanya menunduk dengan bahu yang bergetar.
"Gue ... nggak baik-baik aja," akunya dengan getir yang dalam.
Mata Rista sudah tergenang air mata. Dengan perlahan Rista mulai mengulurkan tangannya lalu memeluk tubuh Ferdi.
"Nggak papa, Fer. Nggak papa kalo lo nggak baik-baik aja. Nggak akan pernah ada orang yang siap kehilangan. Lo nggak harus kuat, itu Mama lo, nggak papa kalo lo mau nangis."
Ferdi meremas baju bagian pinggang Rista, lalu kemudian tangisnya pecah. Segala sesak yang tertahan tumpah ruah. Di depan cewek yang Ferdi kenal karena permasalahan temannya, Ferdi menunjukkan titik terendah dalam hidupnya.
Tentang kejadian 9 tahun lalu itu, entah Ferdi harus menganggapnya berkah, atau justru awal mula dari musibah.
oOo
Dengan tidak santai Rista menarik kopernya. Menimbulkan suara gaduh di antara lorong yang masih sepi. Waktu menjukkan pukul 4 pagi, yang mana sebagian orang masih terlelap di bawah selimutnya.
Jangankan terlelap, wanita berusia 26 tahun itu bahkan masih memakai setelan formal sisa perjamuan makan malam. Selama di dalam pesawat ia pun mengerjakan beberapa laporan. Semakin dewasa, ia semakin paham bahwa waktu itu sangat sempit. Apa itu leha-leha? Rista bahkan ingin sekali waktu dalam sehari itu berubah menjadi 30 jam. Agar ada waktu jeda untuk istirahat sebelum menghadapi waktu sibuk selanjutnya.
Rista tiba di depan sebuah unit apartemen. Ia menekan digit passcode-nya dengan fasih, lalu memasuki ruang yang bergaya maskulin. Sekilas saja langsung menjelaskan bahwa itu bukan tempat miliknya.
Setelah berganti heels dengan sendal kelinci berbulu, menyimpan koper dan blazzer-nya di dekat sofa, Rista melanjutkan langkah pada sebuah pintu kamar. Rista menghela napas besar begitu melihat seorang pria masih meringkuk dalam selimutnya.
"Bener 'kan, masih molor aja."
Rista berdecak. Ia melihat sekeliling kamar dan menggeram gemas ketika tak menemukan koper yang seharusnya sudah siap karena pria itu pagi ini akan bepergian.
![](https://img.wattpad.com/cover/341862125-288-k596527.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Relationshit [TAMAT]
RomanceFerdi berjiwa keabangan. Rista berjiwa keibuan. Ferdi kehilangan ibunya. Rista yang menemani di titik terendahnya. Ferdi itu sarampangan. Rista yang buat hidup Ferdi tertata. Ferdi nyaman dengan semua sikap Rista. Tapi Rista tetap berdeklarasi sebag...