9. Tidak Sebaik Itu

5.8K 643 41
                                    

Tuk!

Rista menjitak kening Ferdi.

"Kalo lo nggak ada otak, lo mati tau."

Rista keluar dari pelukan pria itu lalu berjalan ke arah bangku kayu dan mendudukkan diri di sana.

Ferdi meniupkan napas dengan sedikit kasar. "Padahal dirinya sendiri yang bikin teori, dirinya juga yang nggak ngerti," ucapnya yang hanya berakhir tanpa jejak terbawa gemuruh angin malam.

Rista menepuk-nepuk tempat di sampingnya. "Sini, langitnya lebih enak dilihat dari sini."

Ferdi pun menurut. Seperti biasa, meskipun perasaannya dihantam, dirinya tak bisa menolak apa yang Rista katakan. Wanita itu dengan cepat membuat rasa kesal dalam hatinya menguap. Cukup dengan tarikan kecil di sudut bibirnya. Sebesar itu memang efek yang dia timbulkan.

oOo

Ferdi dan Rista keluar dari lift lalu berjalan di lorong yang mengarah pada tempat tinggal mereka. Rista di depan sementara Ferdi di belakang dengan menyeret koper berisi barang-barang wanita itu selama di rumah sakit. Selain tangannya yang memakai penyangga, Rista sudah terlihat normal kembali. Gerak langkah yang anggun juga tertata serta wajah yang terangkat diiringin kepercayaan diri seperti biasa.

Rista menekan digit kode lalu masuk ke apartemen Ferdi yang membuat si pemilik mengernyitkan dahi.

"Loh, nggak mau istirahat?" tanya Ferdi saat mereka sudah sama-sama masuk. Ferdi menepikan koper pada samping rak sepatu agar mudah dijangkau ketika nanti ia membereskan ke tempat Rista, tempat seharusnya. Selanjutnya dia pun berjongkok dan mengulurkan sendal kelinci berbulu ke hadapan wanita itu.

"Ini juga mau," jawab Rista seraya menumpukan tangan pada bahu Ferdi saat dirinya berganti dari sepatu hak tinggi, pada sendal rumahan itu

"Terus kenapa ke sini?"

Ferdi meraih tangan Rista, menggenggamnya lalu berjalan ke arah sofa. Pria itu membantunya duduk dengan hati-hati. Tangan kanan Rista masih sangat rentan, sedikit salah bergerak, dia bisa kesakitan.

"Mami tau passcode-nya. Yakin deh dia bakal sering datang," jawab Rista tanpa ekspresi khusus yang terpancar. Misalnya seperti rasa bersalah karena kalimatnya sudah termasuk kurang aja terhadap orang tua.

"Kalo lo di sini, Tante Friska emang nggak bakal nyamperin?"

Ferdi mendudukkan dirinya pada karpet di hadapan Rista. Posisinya yang lebih rendah membuat dia mendongak ketika berbicara pada wanita itu.

"Di situ peran lo. Lo yang ngadepin Mami. Basa-basi aja bilang gue lagi istirahat, terus lo cepet suruh pulang deh."

Ferdi berdecak kecil. "Keterlaluan itu, Zi. Orang tua wajar khawatirin anaknya yang sakit."

"Nanti kalo gue udah sembuh, gue temenin Mami belanja seharian, tapi buat sekarang nggak dulu. Gue pengen Mami rasain nyeselnya karena nggak bisa jadi hero saat gue jatuh," jelas Rista yang kemudian diakhiri dengan sunggingan senyum.

Ferdi melipat tangan di atas lutut Rista dan menumpukan dagu di atasnya. Wanita di depannya  tak perlu diragukan lagi kebaikannya. Meskipun begitu, bukan mustahil dia tidak punya sisi yang buruk. Lucunya, ketika ketika dia menunjukkan sisi buruknya itu, dia malah membawa serta permintaan maafnya.

Ferdi tersenyum lembut. Tidak ada pembicaraan yang terucap. Mereka saling diam. Apalagi ketika tangan Rista mulai mengusap-usap rambut Ferdi. Pria itu lebih memilih menikmati sentuhannya.

Saat berdua, sebenarnya mereka jarang duduk bersisian. Lebih sering dengan posisi seperti ini. Memang sedikit terlihat aneh, tapi ini lebih membuat nyaman.

Relationshit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang