Rista belum sempat memahami perkataan Ferdi. Pria itu langsung menciumnya dengan agresif. Aroma alkohol menguar dengan kuat seiring tindakannya yang kasar. Rista berusaha mendorong Ferdi untuk lepas. Namun, pria yang terhuyung-huyung saat berdiri itu kini punya tenaga yang besar. Dia semakin menekan tengkuk Rista, membuat Rista tidak bisa berontak untuk melarikan diri. Ferdi juga tidak segan menggigit saat Rista menolak. Dia terus menerobos tanpa peduli. Ferdi benar-benar seperti berubah menjadi orang lain, orang yang tidak Rista kenali.
Rista memukuli dada pria itu hingga akhirnya pagutannya terlepas. Rista terengah menatap Ferdi tidak mengerti. Bibirnya terasa perih, tapi tatapan Ferdi seolah menerangkan jika dia tidak akan melepaskan Rista begitu saja.
"Ga, lepasin."
Ferdi menyunggingkan senyum satu sudut, yang cukup membuat Rista semakin takut. Rista berusaha melepas tangan Ferdi di pinggangnya.
"Gue nggak mau kehilangannya lo, Zi."
"Gue nggak bakal ke mana-mana." Rista menatap penuh memohon. Dia berjanji tidak akan mewujudkan apa pun ketakutan Ferdi, asal Ferdi tidak melakukan hal gila ini.
"Iya, lo emang harus dibikin nggak bisa ke mana-mana." Ferdi terkekeh sebelum menunduk dan menciumi leher Rista.
Rista semakin membelalak. Ia berusaha mendorong bahu pria itu agar mundur. "Ga jangan kayak gini!" Rista memekik ketakutan. Apalagi ciuman Ferdi semakin turun, mengikuti garis kerah piyamanya.
"Ga!" Rista menggenggam tangan Ferdi yang hendak membuka kancing teratas dari baju yang dirinya kenakan itu..
Ferdi mendongak, matanya menatap Rista dengan senyum menyeringai. Ferdi menyatukan bibir mereka lagi, membungkam kata-kata wanita itu sementara sebelah tangannya mulai masuk ke balik piyamanya. Menyentuh kulit lembut pinggang wanita itu. Ferdi menyeringai senang dengan tangan yang terus bergerak.
Rista menggeleng-geleng, tapi Ferdi tidak terpengaruh, tatapannya justru semakin sayu diliputi kabut gairah. Rista mulai mengeluarkan air mata dan mencengkeram lengan Ferdi dengan kuat, memberikan jejak cakaran begitu tangan Ferdi mulai menyentuh bagian depan tubuhnya.
Pria yang selalu menjaga Rista, selalu di sisinya agar dia tidak terluka sedikit pun. Malam ini sosok itu benar-benar hilang.
Rista sekuat tenaga menahan langkah begitu Ferdi mulai mendorong tubuhnya ke arah kamar. Semua sia-sia. Apalagi saat Ferdi menguncinya dan membuang kunci itu.
"Ga, jangan lakuin ini." Rista menatap Ferdi penuh permohonan. Air mata terus berderai. Tubuhnya bergetar hebat.
Ferdi menggeleng dengan senyum satu sisinya. "Aku sayang kamu, Zi. Aku pengen milikin kamu."
oOo
Kepala Ferdi rasanya ditempeli batu yang besar, sangat berat dan begitu pusing. Bukan hanya sekedar mengurut, Ferdi memukul-mukul kepalanya untuk meringankan rasa sakitnya itu. Ferdi membuka sedikit kelopak matanya. Ia melihat bayangan terang dari sinar matahari pada gorden. Menunjukkan jika waktu sudah beranjak siang.
"Zi, kok nggak bangunin?" ucapnya dengan suara yang parau, kerongkongannya begitu kering dan cukup sakit. Ferdi berusaha bangkit sebelum ingatan tentang semalam menyerang kepalannya.
Mata Ferdi seketika terbuka dengan lebar. "ZI?!" Ferdi memekik kencang begitu tidak mendapati Rista di sampingnya.
Ferdi seketika berlari ke luar kamar. Langkahnya terpontang-panting. Ferdi pikir dunianya akan berakhir, tapi begitu melihat wanita itu tengah menata makanan di meja, Ferdi bisa menarik napas kembali.
"Eh? Bangun juga," ucap wanita itu yang memakai atasan berbahan rajut dengan turtle neck, sementara di tangan kirinya ada sebuah blazzer tersampir. Rautnya terlihat ramah dengan senyuman kecil seperti biasa.
Ferdi mendekat, ia menyentuh pipi Rista untuk memastikan jika memang yang berdiri di depannya itu nyata. Bukan ilusi.
"Kenapa sih?" tanya Rista dengan alis yang berkerut bingung. Kepalanya sedikit memiring penuh tanya.
Ferdi memeluk Rista. Wanita itu nyaris terjengkang karena tindakan tiba-tibanya.
"Kenapa sih? Habis mimpi buruk ya?" Rista menepuk-nepuk punggung Ferdi seperti orang yang menenangkan.
"Zi, ng-nggak ada yang terjadi se-semalem?" ucap Ferdi dengan leher tercekat. Bayangan di dalam kepalanya terlalu nyata untuk disebut sebagai mimpi. Dia benar-benar ketakukan. Bagaimana bisa dia melakukan hal seperti itu pada Rista.
"Kalo maksudnya lo yang pulang dengan kondisi mabuk parah dan pingsan sampe gue harus susah payah bawa lo ke kamar, jawabannya iya."
Ferdi tertegun mendengar penjelasan Rista itu. Tubuhnya diam bahkan ketika Rista mulai mengurai pelukannya.
"Gue belum ngomelin lo, belum interogasi siapa orang sialan yang ngajak anak baik gue ini minum-minum." Mata Rista menyipit dengan decakan kesal.
"Sekarang udah siang, jadi siapin telinganya buat dengerin omelan gue nanti."
Ferdi menatap Rista masih dengan bingung. "Gue nggak ngelakuin hal jahat, Zi?" tanyanya dengan nada yang linglung. Ingatan di dalam kepalanya sungguh seperti nyata.
"Lo ngimpi apa sih? Jangan bilang di mimpi lo, lo itu bunuh gue?"
Ferdi menggeleng, bukan itu. Namun, hal yang Ferdi lakukan tak kalah keji.
Rista menepuk-nepuk lengan Ferdi. " Udah ya, gue mau berangkat, ada meeting pagi. Sarapannya udah siap, tapi mending lo mandi dulu. Meskipun lo anak pemilik perusahaan, lo nggak boleh seenaknya," paparnya yang kembali diakhiri dengan senyum yang manis.
"Zi, gue be-beneran nggak--"
Rista berjinjit lalu mengecup pipi Ferdi. "Dah, see you," ucapnya lalu melenggang ke arah pintu.
Ferdi masih terdiam dengan isi pikirannya yang masih linglung. Bayangan di kepalanya terlalu detail untuk disebut mimpi. Wajah Rista yang menangis meronta-ronta menolak perlakuannya, itu tergambar dengan jelas.
Namun, barusan Rista terlihat baik-baik saja. Kalau memang itu nyata, setidaknya Rista pasti marah dan membencinya. Bukan menyiapkan sarapan seperti ini.
Ferdi memegang kepalanya. Sekali lagi bayangan itu terlalu nyata. "Bego, bego, kenapa lo harus mabuk segala."
Ferdi berjalan kembali ke kamarnya, bersiap untuk mandi seperti yang Rista bilang. Meskipun telat, dirinya memang masih bisa pergi ke kantor.
Ferdi menyalahkan shower. Menanggalkan pakaiannya lalu mulai membasuh diri di bawahnya. Ferdi mengernyit begitu merasa perih di bagian lengan bagian atas. Ferdi memeriksa dan membelalak begitu mendapati beberapa luka memanjang seperti cakaran.
Kilat bayangan itu kembali menyergap Ferdi. Menunjukkan bagaimana luka-luka memanjang itu terjadi. Jelas ini bukan mimpi!
Ferdi mengambil handuk lalu berlari keluar. Ia menghampiri ranjang dan langsung membuang selimutnya.
Ferdi tertegun, isi kepalanya mendadak hening begitu melihat bercak darah di atas seprai.
oOo
Rista membawa mobilnya berbelok, mengganti rute tujuannya yang semua mengarah pada kantor. Dia mulai menyusuri jalan yang cukup lenggang. Rista menggigit bibirnya. Rasa sesak pada dadanya mulai menyeruak naik. Mendorong air mata yang kini mulai menjatuhi kedua pipinya.
Rista membekap bibirnya. Rasa sakit dalam dada menyeruak semakin hebat. Dia pun mulai terisak-isak dengan erangan yang menyakitkan.
oOo
13 Januari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Relationshit [TAMAT]
RomantikFerdi berjiwa keabangan. Rista berjiwa keibuan. Ferdi kehilangan ibunya. Rista yang menemani di titik terendahnya. Ferdi itu sarampangan. Rista yang buat hidup Ferdi tertata. Ferdi nyaman dengan semua sikap Rista. Tapi Rista tetap berdeklarasi sebag...