8. Fase Terjujur

6.5K 713 48
                                    

"Nanti setelah Jeya sama Ganesh dateng, lo pulang ya. Mandi, ganti baju, terus istirahat. Jeya bilang bakal nemenin sampe tengah hari."

Ferdi bergumam kecil seraya mengulurkan suapan ke arah Rista.

"Jangan ham hem doang, jawab yang jelas."

"Iya. Ayo makan," jawab Ferdi yang hanya berkesan agar Rista tidak terus mengoceh. Rista pun menerima suapan pria itu ekspresi yang ditekuk kesal.

"Apa emang kalo sakit makanan jadi nggak enak ya?" Sejauh ini, Rista sangat menjaga asupan, dia memang nyaris tidak pernah terlihat sakit. Mindset masa kecil yang berlanjut hingga sekarang. Karena dia anak pemilik rumah Sdkit, dia tidak boleh sakit. Oleh sebab itu Rista menjaga kesehatannya dengan baik.

"Meski mulut lo nolak, tubuh lo tetap butuh." Ferdi mengambil tisu lalu mengusap pelan sekitaran bibir Rista.

"Itu perasaan perkataan gue deh."

"Emang." Ferdi terkekeh kecil. Di rumah sakit ini, hampir setiap hari dulu Rista mengejar-ngejarnya untuk makan. Mengomel sepanjang kereta melaju sampai Ferdi menurutinya.

"Udah ah." Rista memberi gestur bahwa dirinya tidak ingin makan lagi. Padahal masih tersisa setengah lagi, tapi dengan tegas dirinya memberi gelengan.

"Gue rasanya mau muntah kalo harus diisi lagi."

Ferdi pun menyerah dan meletakan mangkuk itu di meja.

"Mau tiduran aja?"

Rista menggeleng. "Bentaran lagi, bosen baringan--"

"RISTA!"

Suara pekikan dengan nada penuh tangis terdengar. Perhatian kini mengarah ke ambang pintu di mana ada Jeya dengan air mata yang sudah tak terhitung habis berapa. Hidungnya sangat merah dengan kelopak mata yang membengkak. Di sampingnya ada Ganesh yang sekaligus menggendong Kean, putra mereka.

"Taaa ...."

Rista merentangkan tangan kirinya. "Ututu, satu lagi bayi gue," ucapnya seraya tertawa kecil.

Wanita yang selalu bersikeras membanggakan diri karena sudah menjadi ibu itu pada akhirnya tidak bisa menghilangkan jati dirinya. Saat menangis dia masih terlihat menggemaskan seperti dulu.

Jeya berlari, ia memeluk Rista, tentunya setelah Ferdi memastikan dia tidak menyentuh bagian tangan kanan Rista.

"Taaa ...." Jeya berucap lirih di sela isakannya. Sebentar saja Rista merasakan bagian perut bajunya basah karena air mata wanita itu. Mungkin saat Tuhan membagikan kelenjar air mata, Jeya mengambilnya dengan rakus.

"Gue nggak papa elah. Udah berhenti nangis, kasian tuh Kean pasti bingung." Rista menepuk-nepuk pelan punggung Jeya.

"Sa-sakit?"

"Iya, tapi karena dikasih obat jadi nggak berasa."

"Be-neran?"

Rista mengangguk. Jeya semakin erat memeluk Rista, seolah sangat takut kehilangan. Sebenarnya ada sedikit ngilu, tapi karena tidak ingin membuat situasi lebih buruk, Rista hanya menahannya.

"Dia nggak berhenti nangis setelah ditelepon tadi," jelas Ganesh. Ferdi memang memberi tahunya sekitar jam 6. Mencari aman karena tahu Jeya pasti bereaksi seperti ini.

"Apa aja yang parah, Ta?" tanya Ganesh.

"Tangan aja sih. Soalnya posisinya 'kan gue ditabrak dari kanan, nah si tangan ini kejepit."

"Taaa ...." Jeya mengerang kencang yang membuat Rista menggigit bibirnya, berhenti bercerita.

"Udah ada Jeya nih, sana pulang," ucap Rista yang kini memilih beralih pada Ferdi.

Relationshit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang