"Kamu beneran nggak mau pulang ke rumah?" tanya Harsa seraya melihat putrinya yang tengah ditangani oleh seorang dokter. Wanita itu sedikit meringis-ringis kecil.
"Kenapa harus pulang?" tanyanya tak begitu tertarik.
"Semalem Mami bahkan kebangun terus."
Rista menggeleng. "Zizi sama Aga. Papi nggak percaya sama dia?"
"Bukan Papi nggak percaya sama Aga, tapi emang kamu nggak kasian sama Mami? Kalo kamu di rumah Mami pasti lebih tenang," papar Harsa dengan sangat lembut. Ini bujukan untuk kesekian kalinya. Meski kemungkinan jawabannya masih sama, dia tetap mencoba.
"Papi pernah bilang kalo kepala Zi itu kerasnya level berlian, jadi Papi pasti ngerti kalo Papi nggak perlu repot-repot bujuk lagi," ungkap Rista yang diikuti dengan senyuman di bibirnya. Rista memang tidak ada niat sembunyi-sembunyi soal balas dendamnya. Orang tuanya
"Selesai. Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak."
Dokter itu membungkuk lalu undur diri, menyisakan Rista dan Harsa berdua di sana.
"Kalo cuma ganti perbannya Aga bisa kok, nggak perlu ke RS. Ish!" Rista menggerutu kecil dengan bibir mencebik.
"Papi pengen tau kondisi kamu. Rusuk kamu masih suka kerasa ngilu?"
"Nggak. Semua udah oke. Jadi Zi pulang sekarang ya? Aga pasti udah nunggu di depan."
Harsa menghela napas. Ia pun mengusap puncak kepala Rista. "Sesusah ini ya mau punya waktu sama anak gadisnya?"
"Ya itu resiko. Di mana-mana semua orang tua pasti mulai kehilangan waktu sama anaknya ketika anaknya beranjak dewasa." Mata Rista sedikit menyipit. "Makannya tuh mereka suka puas-puasin waktu masih kecil," tambahnya dengan penuh penekanan.
"Iya-iya, salah Papi." Harsa mengecup puncak kepala Rista.
"Papi jadi iri sama Aga."
Harsa tentu tahu setiap anak yang pada saat masa kecilnya kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya akan mencari perhatian dari luar. Maka tidak aneh ketika masa SMA dirinya sering mendengar Rista yang menangis karena patah hati.
Anak yang kurang kasih sayang cenderung mudah termakan bualan. Dia jadi mudah jatuh cinta tanpa memikirkan bahwa laki-laki itu hanya punya niat mempermainkan saja.
Ferdinan Agasena satu-satunya laki-laki yang bertahan dengan Rista selama ini. Ferdi bisa mengisi apa yang Rista butuhkan. Semenjak kenal dia, Rista pun jadi tidak sesering itu jatuh cinta. Meskipun tetap tidak bisa memilih mana yang benar dan berujung disakiti lagi.
Setidaknya dia punya Ferdi untuk berlabuh dan mencurahkan patah hatinya. Menggantikan posisi Harsa."Kenapa iri?"
"Aga bisa tiap hari liat kamu."
Rista hanya mendengkus. "Udah ah, Zi pulang dulu."
Harsa menghela napas. Dirinya benar-benar tidak bisa membujuk keinginan Rista. "Hati-hati." Harsa pun memberikan kecupan pada puncak kepala Rista lagi sebelum wanita itu berlalu.
oOo
"Gimana katanya?" tanya Ferdi begitu mereka sudah sama-sama ada di dalam mobil. Ferdi ada janji temu dengan seseorang, lokasinya masih sekitar rumah sakit, yang menyebabkan dirinya tidak bisa menemani saat pengobatan tadi.
"Nggak ada apa-apa. Cuma ganti perban. Ngeselin 'kan? Papi tuh, capernya makin ke sini makin aneh-aneh aja."
Ferdi terkekeh kecil kemudian mulai melajukan mobilnya pada jalan raya.
"Tanggung di luar, mau jalan nggak?"
Rista menatap Ferdi penuh haru. "Tau banget gue udah mumet karena nggak keluar-keluar. Emang yang paling ngerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Relationshit [TAMAT]
RomantizmFerdi berjiwa keabangan. Rista berjiwa keibuan. Ferdi kehilangan ibunya. Rista yang menemani di titik terendahnya. Ferdi itu sarampangan. Rista yang buat hidup Ferdi tertata. Ferdi nyaman dengan semua sikap Rista. Tapi Rista tetap berdeklarasi sebag...