21. Tips

5.3K 576 22
                                    

Ferdi kembali pada mesin pembuat kopinya. Ia menarik cangkir yang sudah terisi itu kemudian menyodorkannya pada Rista yang masih terdiam bingung.

"Nggak mau?" tanya Ferdi begitu Rista tak kunjung menerima cangkir itu.

"Ah, eu, iya." Rista menerima cangkir itu dengan gestur yang agak canggung. Dia bahkan langsung memalingkan muka ketika tidak sengaja bersinggungan tatap dengan pria itu.

Ferdi tersenyum kecil melihatnya. "Duluan ya," ucapnya lalu berlalu pergi. Pekerjaannya masih cukup banyak

Rista perlahan menaruh cangkirnya pada meja. Ia mendekati satu stool lalu duduk di sana. Tatapannya masih nyalang seolah belum bisa menyingkronkan kenyataan.

Orang mabuk memang akan mengeluarkan isi kepalanya tanpa bisa dihalangi karena logikanya yang tidak sadar. Namun, seingat Rista keinginan terbesarnya adalah menjelaskan pada Ferdi bahwa sebagai teman, Ferdi tidak boleh mencium pipinya. Hal itu juga yang menjadi sebagian alasan Rista meneguk minuman sialan itu. Jadi harusnya Rista itu berani meluruskan kesalah pahaman itu.

Kenapa sekarang Rista malah melegalkan hal yang lebih jauh?
Berciuman, ini benar-benar gila. Apa yang ada di otaknya saat mengatakan itu? Apa tanpa sadar Rista punya jiwa liar ya?

Sial, sial, sial. Rista benar-benar tidak ingat apa yang semalam terjadi. Ferdi memang punya semua dari kriteria pria idaman, tapi tak seharusnya Rista sosor juga 'kan?
Sekarang bagaimana?
Bagaimana Rista mengonfirmasi kalau hal itu salah?
Bagaimana Rista mengatakannya?

Rista menjatuhkan keningnya pada permukaan. Ia mengerang sementara tangannya memukul-mukul kepala.

He's a good kisser.

Rista memukul kepalanya lebih keras ketika sekelebat kalimat itu justru muncul di sela kepusingannya. Tidak tahu situasi. Apa Rista saja yang salah memahami jika dirinya memang seliar itu.

Ferdi belum pernah berciuman. Jadi, Rista adalah first kiss dia. Rista yang merusak pria itu.

"Shit! Kenapa dia belajar cepet banget."

oOo

"Fer!"

Jeya menghentikan langkah Ferdi yang hendak menuju balkon. Pria itu berbalik dan menatapnya. "Ya?"

"Sini deh." Jeya melambai-lambaikan tangan.

Ferdi melangkah ke arah ibu muda itu. "Kenapa?" Ferdi terlihat mengernyit. Tidak biasanya Jeya punya urusan dengan dengan dirinya.

"Lo cinta sama Rista?"

Ferdi terdiam sejenak, lalu menatap Jeya penuh selidik. "Iya."

"Gue bakal dukung lo," ucap Jeya dengan penuh keyakinan.

"Gue nggak mau Rista disakitin mulu. Gue percaya sama lo."

Ferdi mengerjap. "Je, lo percaya sama gue?"

Jeya mengangguk mantap. "Nanti deh gue kasih tau lo apa aja yang bisa bikin Rista luluh. Meskipun tahun-tahun sekarang Rista deketnya sama lo, tapi tetep gue yang paling tau soal dia sebagai cewek."

Ferdi menyunggingkan senyum. "Apa?"

"Nggak sekarang, hush-hush buruan pergi," usir Jeya begitu mendengar langkah yang dipastikan adalah Rista mendekat.

Ferdi pun kembali pada balkon sementara Jeya berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

"Eh, Ta. Kok muka lo gitu?" heran Jeya begitu menatap raut Rista yang seperti orang linglung.

"Eu ... gue ...."

"Ada yang sakit?"

"Enggak, bukan gitu."

Relationshit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang