☆ 8

535 75 7
                                    

Pada malam Rabu ketika semua orang berada di antara lelap dan sadar, Hideki duduk di tempat tongkrongan sendirian, ia menggoyang-goyangkan kakinya yang menjuntai dengan pikiran kosong. Entah mengapa, malam ini terasa begitu hampa baginya.

Hawa dingin angin malam menusuk kulit, dengan bodohnya ia hanya mengenakan kaus putih polos serta celana panjang yang biasa ia gunakan untuk tidur. Surainya berantakan karena sebetulnya ia baru terbangun dari tidur.

Saat ini jam menunjukkan pukul 2 pagi, udara kian dingin. Sampai tak sengaja sorotnya menangkap bayangan yang mendekat, lantas ia melihat guna memastikan sang empunya.

Setelah mengetahui siapa yang datang, Hideki membuang pandangan ke arah lain dengan raut datar tanpa ekspresi.

"Bang Deki?"

"Hm?" hanya gumaman kecil sebagai jawaban dari pertanyaan Remi Adiaksa.

Remi duduk di sebelah Hideki. "Ngapain?" tanyanya.

Hideki menyerah untuk mengabaikan Remi, lantas ia menoleh. Ia dapat melihat kantung mata cowok berpipi gembil itu semakin menghitam, sangat kontras dengan senyuman lebarnya yang cerah.

"Lagi mikir gimana caranya gue dapetin pacar."

Mendengar hal itu, Remi mengernyit heran. "Lah, Miju?"

"Putus, kemarin dia marah besar. Anaknya curigaan banget, gampang cemburu, terlalu kekang gue, dan pastinya gak suka gue deket elu."

"Buset, kok gue?" Remi protes saat dirinya disebut sebagai salah satu alasan retaknya hubungan orang lain.

Hideki berdecak malas. "Karena dia tau motto gue."

Remi semakin menyipitkan kedua mata menatap cowok lebih tua darinya itu. "Emang motto lu apa?"

Namun, Hideki tidak menjawab. Cowok tampan itu malah mendongak, menatap langit yang dipenuhi gemintang.

Karena memperhatikan setiap gerakan Hideki, lantas Remi ikut mendongak. Kedua sorotnya berbinar menatap langit.

Luas, indah, serta membuatnya merasa tenang.

"Kita lagi melihat masa lalu," celetuk Hideki.

"Bintang?"

"Iya, bisa jadi bintang yang lagi kita tatap udah hancur ribuan tahun lalu, tapi cahayanya baru nyampe ke kita sekarang."

Remi mengangguk paham. "Bintang favorit lu apa?"

"Rigel dan Betelgeuse."

Remi mengangkat senyuman, lalu melirik Hideki yang masih mendongak. Leher jenjang itu begitu putih bak porselen, adam apple-nya bergerak naik-turun. Maka perlahan, Remi beralih menikmati indahnya Hideki Rakasura. Karena menurutnya, Hideki lebih indah dari ribuan serta jutaan bintang di atas langit.

"Gue mau jadi bintang," ucap Remi secara tiba-tiba.

Hideki mengulas senyum untuk pertama kalinya setelah mereka bertengkar, tatapannya masih melihat kelap-kelip benda luar angkasa. "Kenapa mau jadi bintang?"

Sebetulnya degupan jantung Remi bekerja dua kali lipat saat ini, kedua pipinya memanas. Ia meremat jari-jemarinya karena gugup, tiba-tiba saja ia ingin mengatakannya saat ini, momentnya sudah pas, ia juga sudah lelah memendam perasaannya selama itu.

"Biar lu selalu tatap gue dengan binar mata lu, persis kayak lu tatap bintang di langit malam saat ini."

Hening beberapa saat, angin berhembus membuat surai keduanya menari-nari. Sepi, hanya terdengar suara degupan jantung masing-masing.

Perlahan Hideki berhenti mendongak. Ia beranjak dari posisinya, sebelum melangkahkan kaki, ia sempatkan diri untuk berkata pada Remi. "Gak usah jadi bintang, gak bakal gue tatap."

Kalimat itu berhasil membungkam Remi, meninggalkan sebuah sayatan kecil dalam benaknya. Kini, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Remi memutuskan untuk berhenti menyukai Hideki.







××

Hideki To Remi - Minsung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang