☆ 9

534 75 11
                                    

Jam menunjukan pukul 11 malam, Remi masih sibuk menyesap mocktail sambil melihat para wanita bebas menari di dance floor. Ia sesekali menghela napas, melihat ke langit-langit, kemudian melirik bartender yang sibuk meracik minuman.

Merasa di perhatikan, sang bartender itu mendongak. Kedua manik indahnya berkedip beberapa kali, menatap balik Remi dengan pandangan bertanya-tanya.

"Kenapa?" tanya sang bartender.

Remi menyandarkan tubuhnya pada meja bar, lalu menopang dagu sambil tersenyum nakal pada gadis muda itu.

"Gak ada mocktail yang menyegarkan selain racikan dari tangan bartender manis di hadapan gue saat ini," rayu Remi tanpa malu.

Gadis itu menyunggingkan senyum remeh, ia kembali sibuk meracik minuman tanpa meladeni gombalan cowo kuliahan gabut bernama Remi.

"Mocktail, mocktail apa yang manis?" Rupanya Remi tidak menyerah.

"Gak tau," ucap gadis bartender.

"Kamu," jawab Remi kemudian.

Tai, umpat gadis tersebut dalam hati. Ia melirik Remi, sedikit memperhatikan penampilan cowok itu saat ini. Jaket korduroy biru navy, kaus putih, jeans hitam, tak lupa kalung yang bertengger di lehernya. Surai Remi di sisir naik memamerkan dahi, serta piercing di telinga kiri. Cih, tipikal cowok red flags.

Musik berhenti sejenak, kemudian Remi mendengar suara langkah kaki mendekat, lalu seseorang itu duduk di bangku kiri Remi. Saat menengok, Remi terkejut.

Hideki.

Cowok hukum itu menatap lurus ke arah bartender, ranumnya melafalkan kalimat, ia memesan segelas bir. Di sisi lain Remi membeku.

Sementara Dj kembali memainkan alunan musiknya, lagu Escapism. Bagus, Escapism di tengah ketegangan antara Remi dan Hideki. Ralat, hanya Remi.

Maka dari itu, Remi beranjak dari bangkunya berniat untuk kabur. Namun, dengan sigap Hideki menekan pundak Remi hingga cowok berpipi gembil itu kembali duduk.

"Mau kemana lu?" tanya Hideki dengan nada datar, tatapannya masih lurus.

Remi bungkam.

"Sejak kapan lu kenal dunia kayak gini?"

Lagi-lagi Remi tidak mau menjawab.

"Mulai nakal ya lu."

Setelah itu Remi kembali beranjak tanpa membalas ucapan Hideki, ia bergegas melangkah pergi menuju toilet dengan langkah besar. Kini pupil Hideki mulai bergerak memperhatikan punggung Remi yang mulai menghilang.





























"Holy shit," umpat Remi sambil menatap pantulan dirinya di cermin. "What should I do now? Should I ... run?" monolognya.

Suara pintu toilet terbuka dan menutup kembali, Refleks Remi menoleh.

Sialan.

Hideki menyusul Remi.

Cowok jangkung itu melangkah dengan dagu yang di naikan, alisnya bertaut, tatapannya angkuh. Ia mendekati Remi. Auranya benar-benar tidak mengenakkan.

Remi memberanikan diri, ia balas menatap Hideki dengan tatapan tajam.

Kini keduanya saling berhadapan dengan jarak sekitar 5 senti. Hideki sedikit menurunkan pandangannya karena perbedaan tinggi badan yang ketara.

"Kabur, hm?"

Remi menelan salivanya, tapi tatapan tajamnya tak henti menusuk pupil Hideki. Baru kali ini juga Hideki melihat sisi Remi yang paling ia benci.

"Apa urusan lu?" Remi membalas. Membuat mata Hideki melotot, alis tebalnya semakin bertaut.

"Lu, urusan, gua." Ia menekan setiap kata, membalas pertanyaan dari Remi.

Setelah itu Remi mendecih, ia berniat untuk menghindari perdebatan dengan melangkah melewati Hideki, sedikit menabrak bahu Hideki dengan kasar.

Fak.

Hideki semakin tersulut emosinya. Lantas ia menarik Remi dengan kasar juga. Ia mendorong Remi memasuki kamar Toilet, Jelas Remi terkejut bukan main, jantungnya berdegup kencang ketika mengalami kejadian mendadak seperti saat ini. Ia memberontak untuk menyingkirkan tubuh Hideki dari pintu.

"Minggir, setan!" Demi apapun, Hideki tertohok. Malam ini Remi sangat berbeda. Remi terlihat jauh lebih kasar.

"Gue gak suka lu dateng ke tempat beginian, Rem."

Remi melotot. "Lo sendiri ada disini, sat. Siapa lu ngelarang gue? Lo bukan orang tua gue. Lo gak berkontribusi di hidup gue, jangan sok-sokan ngelarang. Lo cuma salah satu temen dari ratusan temen gue!"

Mendengar rentetan kalimat dari mulut Remi, Hideki diam dengan raut mukanya yang tak henti menunjukkan ekspresi tak suka.

"Sekarang gue tanya, tujuan lo ngunci kita berdua di wc buat apa? Buat ngehajar gue? Atau cuma buat tatap gue dengan muka sialan lo itu?"

"Buat bungkam mulut lo," jawab Hideki sebelum ia meraup ranum Remi. Remi membulatkan kedua bola matanya, ia meremat bahu Hideki. Ranumnya benar-benar di hisap sekuat tenaga oleh Hideki yang sedang marah. Cowok hukum itu semakin menekan tengkuk Remi, menghisap bibir atas dan bawah Remi secara bersamaan, menghisap bak kelaparan. Sehingga membuat Remi memekik dalam diam.

Dengan keberaniannya, Remi mendorong Hideki sampai ciuman itu akhirnya terlepas.

Keduanya menghirup udara dengan rakus.

Hideki dapat melihat kedua mata Remi memerah, cowok berpipi gembil itu rupanya menahan air mata yang akan jatuh. Setelah itu, tangan Remi menyingkirkan Hideki dari pintu sampai punggung itu menabrak dinding.

Remi pergi, meninggalkan Hideki sendirian dengan rasa penyesalannya.














××

Hideki To Remi - Minsung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang