5. [ season 2 ]

279 43 14
                                    

Sekarang ini Remi diam-diam sedang nongkrong di warkop bareng Haikal dan kawan-kawan. Ia menyesap segelas kopi hitam pahit non gula racikan teteh warkop.

Setelah menyeruput kopi panas itu, ia langsung berteriak. "AHHHHHHH ANJING."

refleks Haikal memukul bahu Remi. "Gandeng goblog," umpatnya yang mendapat kikikan dari Remi, Felix dan Surya.

"Udah lama kita gak ngumpul barudaks."

Surya tersenyum mendengar ocehan Remi yang terkesan rame, sebenarnya ia sedikit ketar-ketir takut ketahuan Hideki. Kalau sampai ada yang cepu, Haikal dalam bahaya.

"Tegang bener muka lu, Sur," ucap Haikal setelah mengetahui ada yang aneh dari raut muka Surya.

Felix menghela napas panjang. "Haikal," panggilnya.

Cowok bandung itu mengangkat alisnya berkata, "naon?"

"Lu gak kapok apa?"

"Kapok apaan?"

Tiba-tiba situasi menjadi agak serius, Remi mengernyitkan dahinya menatap Felix.

"Orang itu maksud lu?" tanya Haikal, "apa yang perlu di kapokin? Coba lu pikir, emangnya kalo udah punya pacar gak boleh punya temen? Emangnya hidup lu mau stuck di pacar lu doang? Dunia lu pacar lu doang emang? Toxic itu namanya, gak sehat lu punya hubungan begitu."

Meski Haikal tidak menyebut nama Hideki, tapi Remi tahu kalau omongan bocah berkulit tan itu tertuju padanya.

"Iya gue paham, tapi———"

"Gak usah khawatirin gue, Lix. I can fight."

Haikal merangkul Remi setelah mengatakan kalimat tersebut. Remi hanya terdiam, ia menunduk memutar-mutar sebatang rokok ditangannya. "Sorry, Kal."

"Sssttt ... " Haikal mengusak surai legam Remi. "Bukan salah lu, emang pacar lu aja yang over."

"Kal, Kal. Udah, gak usah mepet-mepet dah."

Cowok bandung itu memutar bola matanya malas sambil melepas Remi dari rangkulan. "Iya-iyaaa, Suryaaa."

"Gue mau pesen kopi lagi," kata Remi, ia beranjak dan melangkahkan kakinya menuju warung. Di sisi lain, Haikal sedikit menggebrak meja lalu bersandar di kursi, kakinya ia angkat satu, kemudian menyesap pod dengan rakus.

Felix dan Surya saling melirik.

"Lu kenapa dah, Kal?" tanya Surya yang mulai gedeg dengan tingkah Haikal.

Cowok tengil itu menghembuskan asap ke udara sebelum menjawab pertanyaan tiba-tiba dari Surya. "Emang gue kenapa?" tanyanya dengan enteng.

"Lu demen sama Remi apa gimana?" kini Felix yang bertanya.

Kemudian Haikal tertawa, menurunkan satu kakinya lalu mencondongkan tubuh ke hadapan Felix. "IYA," ucapnya lantang yang kemudian kembali duduk normal di kursi.

Surya mendecih. "Nyari perkara lu."

Selang beberapa menit Remi datang, duduk di sebelah Haikal sambil menyimpan segelas kopi di meja, ia menyesap sebatang rokoknya yang mulai pendek.

"Udah napa, serius mulu hidup lu semua. Ngopi dong," ucap Remi.

Felix tertawa. "Lu ngopi mulu, udah 3 gelas."

"Aman, selagi aslam gak kambuh ngopi aja sampe mabok."

"Kopi gak bikin mabok," kata Surya, kemudian ia mengeluarkan 4 kaleng minuman beralkohol rendah. "Mau kaga lu semua?"

Ketiga dari mereka melotot tak percaya. "Beli pas kapan lu?" tanya Haikal.

"Di rumah punya abang, gue ambil aja."

"Elu yang nyari perkara, bego!" Kemudian Haikal mengambil sekaleng bir.

Surya mendelik. "Diambil juga, 'kan."

Namun sebelum Remi meminum kaleng bir-nya. Tiba-tiba pintu warkop terbuka dengan kasar, mereka menengok ke arah pintu dengan ketar-ketir kecuali Haikal. Itu bocah sibuk menyesap pod.

Remi mengernyit bingung, Haru datang dengan raut panik. Ia menghampiri Remi dan langsung menariknya keluar tanpa aba-aba. Sementara itu Surya, Felix dan Haikal masih bengong, mereka masih mencerna situasi. Kejadiannya begitu cepat.

Remi berusaha melepas cengkeraman Haru di pergelangan tangannya, namun nihil. Haru mengeluarkan kunci mobil di saku, kemudian membuka pintu dan mendorong Remi untuk masuk.

Tunggu, sejak kapan Haru bawa mobil ke kampus?

Haru duduk di kursi kemudi, ia memutar arah dan memulai perjalanan. Sorot sipit itu melirik spion mobil dengan panik, lantas Remi ikut menengok ke belakang, seketika bola matanya melotot.

Hideki baru saja datang dan memarkirkan motornya di warkop.

Di sisi lain Haru menghela napas lega.

"Syukurlah, tepat waktu."

Mendengar ucapan Haru, Remi menengok. "Ada apa ini, Ru?"

Haru fokus ke jalanan. "Hideki nyari lu di kampus kaga ada, dia curiga lu ke warkop. Sesuai dugaan gue, ternyata emang bener lu di warkop. Bareng si Haikal, 'kan? Tuh bocah bisa mampus sama Hideki kalo lu ketahuan ada di sana, Rem."

Remi berdecak malas. "Males banget bangsat, Hideki kenapa begitu sih, Ru?!"

"Gue juga gak tau, Rem."

"Gue ngerasa kekurung kalo begini terus."

"Kalo capek lepas aja, Rem."

Hening sejenak, Keduanya menatap jalanan Ibukota yang ramai. Sampai Remi menghela napasnya panjang. "Iya kali yak," ucapan Remi sukses membuat Haru melotot tak percaya.

"Eh, Rem. Gue becanda, kan kata lu juga jangan dengerin nasehat gue yang useless."

Ah elah ...

"Gak gitu, Ru. Kali ini gue setuju sama lu. Gue pikir Hideki terlalu over. Gue agak capek."

Haru menengok ke arah Remi sekilas, hanya memastikan Remi tidak menangis setelah mengatakan hal tersebut. Tapi nyatanya bocah berpipi gembil itu sedang marah.

"Jadi, apa yang bakal lu lakuin setelah ini?" tanya Haru.






























"Putus."

××

Hideki To Remi - Minsung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang