☆17

529 68 12
                                    

Pagi ini Haru duduk di teras ruangan karang taruna sambil memakan es pisang ijo buatan mama-nya. Ia sendirian, ditemani suara para bocah SD komplek yang pada baru pulang sekolah.

"Bang Haru sendirian aja," ucap salah satu bocah sambil lewat.

Haru yang fokus memakan es pisang ijo otomatis melihat ke arah suara, ia tidak menjawab namun pupilnya bergerak mengikuti bocah SD itu yg mulai menghilang dari pandangan.

Benar, tumben sekali Haru sendirian di tempat ini. Biasanya Remi akan datang dan merebut es pisang ijo miliknya itu.

Gara-gara kejadian beberapa hari yang lalu, hubungan pertemanan mereka jadi renggang. Begitu pula dengan Hideki, cowok anak hukum itu jauh lebih murung sekarang, bahkan jarang ikut kumpul di karang taruna.

Sial, sial, sial. Haru sibuk merutuki dirinya serta ide liar yang ia rencanakan.

Sejujurnya, Haru ingin Hideki maupun Remi mengakui perasaannya masing-masing, Haru menyuruh Hideki untuk deep talk di kamar karena ia pikir kalau berada di satu ruangan bersama yang tertutup, mereka akan saling jujur dan mengutarakan perasaannya dengan mudah.

Tapi, ia tidak tahu kalau Hideki malah melakukan hal bodoh seperti itu kepada Remi.

"Dor!"

"Setan!"

Haru hampir menumpahkan es pisang ijo, di sisi lain Jean cekikikan lalu duduk di sebelahnya.

"Ngagetin lu bocah! Udah pulang sekolah lu?" tanya Haru yang mendapat anggukan dari Jean. "Cepet amat," lanjutnya.

"Dibubarin, guru ada rapat mendadak," jawab bocah SMA itu. "Gak ngampus, Bang?"

Haru menggelengkan kepala. "Gak ada kelas."

"Wih, berarti Bang Remi juga ada di rumah dong?"

Mendengar nama Remi, Haru menelan ludahnya yang terasa pedih di tenggorokan. "Hm, ada."

Jean mengangguk sebagai respon alami, bocah itu kemudian mendongak melihat jendela kamar Hideki yang terbuka lebar. "Bang Deki jarang ngumpul sekarang, kenapa ya?"

Hening sejenak, sebelum Haru menjawab singkat, "gak tau."

"Yeah, gue harap gak ada masalah di antara kalian. Karena gue liat-liat, bang Remi juga udah gak pernah kumpul bareng lagi dari seminggu yang lalu."

Sudah seminggu rupanya. Haru, Remi dan Hideki dalam situasi tidak baik-baik saja. Humphhh, Haru bahkan tidak tahu harus memperbaiki hubungan pertemanan ini dengan cara apalagi.

"Bang?"

Jean melambai-lambaikan kelima jari di depan wajah Haru, sampai cowok berbibir tebal itu tersadar dari lamunannya.

"Daijoubu desuka?"

Mendengar itu, Haru mengangkat sudut bibirnya dan mendecih menatap Jean. "Apalah, Je. Jangan ngikutin Remi sama Hideki yang wibu akut itu."

"Yeuuu." Jean mendelik. "Gue kan cuma ngomong bahasa Japan."

"Iya-iya," Haru terkekeh kecil, lantas menepuk-nepuk ujung kepala Jean dan melembutkan suaranya. "Daijoubu desu, Jean-chan."

Kampret, aneh banget kokoro Jean mendadak dag dig dug. Agar Haru tidak melihat semburat merah di pipinya, Jean otomatis menepis tangan Haru di kepalanya.

"Gak sopan betul, Bang. Kepala orang gak boleh di pegang sembarangan."

Namun Haru malah tertawa.

_____________

Remi baru keluar dari rumah. Maklum, baru bangun tidur. Lihat saja rambut-rambut itu, bak sangkar burung——mencuat kesana kemari. Remi keluar rumah berniat untuk membeli nasi padang, tapi ujung matanya malah mendapati Baska bersama dengan Hideki yang baru pulang ngampus. Mereka berdua jalan kaki, berhubung Remi juga jalan kaki. Jadi mereka bertemu berlawanan arah.

"Eh, Rem. Gak ngampus?" tanya Baska, basa-basi.

Remi mengangkat singkat dagunya pada Baska. Ngomong-ngomong, ia sama sekali tidak melirik Hideki di sebelah cowok berotot itu. "Gak ada kelas."

"Mau mie ayam gak? Gue mau beli bareng Deki."

"Gak, Bang. Gue mau beli sidang."

Baska mengernyit bingung. "Hah?"

"Nasi padang," ucap Hideki.

"Oh, naspad anying. Sidang dari mane?"

Remi berdecak malas dan mulai menjelaskan singkat. "naSi paDang," ucapnya penuh penekanan.

Baska diam sejenak untuk mencerna, detik kemudian ia langsung ngeh dan terbahak sambil memukul pundak Hideki di sebelahnya.

"Sat, sakit!" protes Hideki.

Melihat Baska dan Hideki yang membuang-buang waktunya, lantas Remi pergi tanpa pamit.

Di sisi lain Hideki tak lepas menatap Remi sampai punggung itu menghilang.

Sedih.

Jelas, Hideki sedih. Ia ingin memperbaiki semuanya, tapi ia sendiri pun kebingungan harus mulai darimana.

Mau sampai kapan begini, Rem?














































Remi diam-diam memukul kepalanya sendiri. "Lo harus bisa buang perasaan lo ke si Hideki bajingan itu, Rem." Gumamnya pada diri sendiri.

××

Hideki To Remi - Minsung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang