7. [ season 2 ]

319 46 24
                                    

Minggu pagi yang cerah, pagi-pagi begini Haru sudah nongkrong di teras basecamp ditemani sepiring pisang goreng buatan sang mama. Haru tidak sendirian, di sana ada Baska dan juga Gama. Mereka bertiga sedang berebut memakan pisang goreng yang tinggal sisa 1 biji di piring.

"Ngalah aja napa, Bang. Gue paling bontot di sini," ucap Gama sambil memegang piring.

Sementara itu Baska memegang piring yang dipegang Gama. "Justru yang paling bontot harus ngalah sama yang sepuh."

Haru merasa jengkel, lantas ia berteriak. "MAMA PISANG GORENGNYA DI COLONG MONYET!!"

Refleks Baska ikut teriak karena tidak terima dikatain monyet. "WOYYYY!!"

Gama berada di tengah-tengah akhirnya pasrah dan lebih memilih menutup kuping. Ia sibuk melihat kedua abangnya masih berebut pisang goreng, sampai matanya tak sengaja melirik sosok manis baru bangun tidur serta rambut legam acak-acakannya itu, Remi dengan celana training dan kaus hitam polos sedang berjalan melewati mereka dengan wajah sepet.

"Oy, Rem!" teriak Baska.

Remi menoleh, lalu menyahut. "Oy, Bang!"

"Kemana pagi-pagi begini, tumben rajin betul udah bangun."

Kekehan terdengar dari cowok berpipi gembil itu. "Disuruh bunda beli tepung."

"Wih, mau buat kue, ya!" sahut Haru excited.

"Yoi, banyak orderan. Mau bantuin kaga? Tapi gak dapet fee."

"Boleh lah, fee nya pake kue aja gue udah ikhlas."

Setelah itu Haru segera memakai sendalnya, sebelum melangkahkan kaki, ia sempat menengok ke belakang tepatnya ke arah Baska dan Gama. "Abisin tuh pisang goreng."

"Gak perlu di suruh bakal gue abisin, taik!" umpat Baska, kemudian memotong pisang goreng menjadi dua bagian lalu memberikannya pada Gama.

"Thanks, Bang Bas."




























Remi dan Haru berjalan menuju toko bahan-bahan kue yang tidak jauh dari basecamp. "Bunda mau bikin kue apa, Rem?" tanya cowok berbibir tebal itu.

"Brownies, sih."

"Mantap."

Sesampainya di toko bahan-bahan kue, mereka mulai memanggil-manggil. "Beliiiii~" kata Haru, tak menunggu lama, kepala Jean muncul dari bawah.

"Beli apa, Bang?" tanya bocah sipit itu sambil cengengesan.

Otomatis Remi berdecak malas. "Ahh, malas banget anying. Mana mami? Beliau aja yang ladangin," keluh Remi.

Jean mencebikan bibirnya. "Mang napa si? Mami lagi gak ada, makanya gue jaga toko."

"Yaudah ambilin gue tepung terigu."

"Oke siap!"

"Kalo sampe tepung terigu jadi tepung kanji lagi gue gebuk beneran, Je."

Menyimak obrolan Remi dan Jean membuat Haru tertawa, ia sibuk memperhatikan Jean yang sedang kebingungan mencari tepung terigu.

"Perlu bantuan gak, Je?" Haru menawarkan bantuannya, sok-sokan mau jadi pahlawan padahal ia sendiri tidak bisa membedakan terigu dan tepung kanji.

"Gausah!" jawabnya ketus.

"Buset, galak bener."

Jean tidak menanggapi Haru lagi, ia sibuk memilih-milih. Ketika sudah yakin ditangannya tepung terigu, lantas menghampiri Remi. "Nih, kali ini gue bener."

Melihat keraguan di wajah Remi membuat Jean terkekeh. "Bener, Bang Rem. Tepung terigu tuh warnanya lebih dekil macem Bang Haru."

Haru melotot. "EEEEE kampret betul, gue diem ya daritadi."

"Mau berapa kilo, Bang?" tanya Jean lagi, tak mempedulikan Haru yang sedang misuh-misuh.

Tetapi otak Remi tiba-tiba nge-blank, ia tidak ingat berapa kilo tepung terigunya. MAMPUS, batin Remi menjerit.

"Duh, berapa yak?" tanyanya pada Haru, refleks cowok slengean itu mengendikkan bahu. "Mana gue tau."

"Yeu, gimana si?" ucap Jean, "masih muda udah pikun aja nih Bang Remi," ejeknya sambil bersandar pada etalase.

"5 kilo, Je."

Semuanya langsung menoleh pada entitas asing yang tiba-tiba datang tanpa diundang. Seketika jantung Remi berdenyut, wajahnya seperti kesemutan ketika melihat Hideki berdiri tepat di sebelahnya.

"Kata siapa Bang Deki? Jangan sotoy, Bang Remi aja gak tau, tuh."

"Yeuu, songong lu bocah!" Haru membela Hideki. "Bang Deki cenayang asal lu tau."

Sementara itu Hideki masih dengan raut datarnya, berdiri menjulang di sebelah Remi dengan kedua tangan di masukkan ke saku hoodie. "Gue bilang 5 kilo ya 5 kilo."

Ketiganya otomatis terdiam mendengar nada bicara Hideki, mereka saling melirik, kemudian Remi segera membayar belanjaannya pada Jean. "Arigato, Je."

"Yosh, Douita Shimasite!" balas Jean, melihat Remi serta Haru yang bergegas meninggalkan toko, kecuali Hideki. Cowok judes itu masih diam memandangi Jean, Jean merasa tertantang jadinya ia melipat kedua tangan di depan dada dan membalas tatapan Hideki dengan songong.

"May i help you, Sir?" ucapnya, lalu Hideki bersandar di etalase dan menghela napas panjang. Raut mukanya berubah menjadi murung.

"Je, beli cokelat 7 batang." Nada suaranya terdengar lesu, membuat Jean menggaruk tengkuknya kebingungan dengan sikap Hideki.

"Cokelat buat siapa, Bang?"

"Buat brownies bunda-nya Remi, tuh anak langsung melengos aja padahal bunda belum selese ngomong."

Mendengar Hideki mengadu, Jean terkekeh. "Bang Remi gak pernah belajar dari kesalahan, ya." Kemudian mengambil cokelat batangan sebanyak 7 biji. "Oiya, Bang Deki kok tadi kayak lagi musuhan sama si bocah wibu? Kayak gak biasa aja kalian gak tegur sapa."

Paham arah pembicaraan Jean, lantas Hideki termenung. "Gak tau, Je. Ini salah gue."

Jean menghampiri Hideki, menyimpan se-kresek cokelat di atas etalase tempat Hideki bersandar. "Beneran lagi berantem, ya?"

Entah mengapa, Hideki tiba-tiba ingin curhat kepada bocah SMA di hadapannya saat ini. Maka dari itu, ia meminta izin untuk masuk toko dan duduk bersama Jean. Duduk sila berhadapan.

"Gue putus sama Remi."

Jean melotot kaget bukan main. "WHATT???!!!"

"Iya, Je. Salah gue karena terlalu overprotektif ke Remi."

"Bentar ... "

"Kenapa?" Hideki bingung




























"Sejak kapan kalian pacaran, anjrit?!"

××











Potret Jean yang udah siap dengerin sambatan abangnya yang plot twist itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Potret Jean yang udah siap dengerin sambatan abangnya yang plot twist itu.

Hideki To Remi - Minsung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang