☆19

439 55 10
                                    

Malam ini Baska sibuk nugas di teras karang taruna sendirian, sementara jam sudah menunjukan pukul 12 malam.

Ditengah heningnya komplek, Baska dibuat terkejut saat mendengar langkah kaki seseorang dan suara isakan kecil. Baska pikir itu adalah setan yang berusaha mengganggu, tapi ujung matanya malah menangkap sosok Remi berlari melewati ruangan karang taruna tanpa menyadari Baska ada di sana.

Cowok atletis itu lantas memakai sandal dan berusaha meraih pundak Remi. "OY, REMI!"

Remi berhenti berlari, ia menoleh. Melihat Baska dengan raut khawatirnya.

"Ya ampun bocah, kenapaaaa?"

Remi berusaha untuk menahan isakannya sambil menyeka air mata menggunakan lengan baju.

"Ada apa, Rem?" Baska menepuk-nepuk pundak Remi dengan lembut. "Cerita sama Abang."

Mendengar perkataan Baska, Remi malah semakin ingin menangis. Maka ia menahan tangisannya dan hanya terdengar sesenggukan.

"Yaudah, sok nangis dulu." Baska merangkul adik kecilnya itu, sementara Remi sibuk menghapus jejak air mata sambil menunduk dalam.

"Gue udah pukulin Hideki."

Diam sejenak, Baska mencerna ucapan Remi barusan.

"Sebenernya ada masalah apa lu sama Deki, Rem?"

Remi akhirnya mendongak, ia menatap Baska dengan tatapan penuh air mata. "Gue ... suka, sama Hideki," ucapnya susah payah. "Tapi Deki gak tau, g-gue ... gue takut. Gue takut di tolak, karena kemarin aja gue kodein dia, dia secara gak langsung nolak gue."

Baska mengangguk paham. "Lu kodein gimana?"

"Gue bilang, gue pengen jadi bintang biar terus di tatap dia."

Baska mengulum bibirnya menahan tawa. Aduh, gak tepat banget. Ini bukan saatnya Baska harus tertawa.

Lagian, Baska merasa kalimat Remi lucu. Masalahnya, ia tidak pernah mendengar Remi mengatakan hal-hal seperti itu————pernah sekali, saat Remi sedang mode wibu stress dan menghayal jadi suami Nico Robin.

"Terus si Deki bales gimana?"

Remi kembali menjawab. "Katanya, jangan jadi bintang karena gak bakal gue tatap. Gitu, Bang."

Baska semakin mengulum bibirnya itu.

"Terus dari situ gue pikir Deki tau kalo gue suka dia, jadi pas malem dimana gue gak ikut kumpul karang taruna, gue sama Deki berdua di kamar dia yang lantai paling atas."

Baska mulai memasang wajah serius, alisnya menukik tajam. "Ngapain berdua di kamar?"

Remi tidak melanjutkan kalimatnya, ia menatap ke sembarang arah dengan gugup. Di sisi lain Baska semakin curiga.

"Pantesan, gue pikir setan yang ada di kamar Hideki. Ternyata lo berdua," lanjut Baska. Kemudian, ia memegang kedua pundak Remi. "Rem, jujur sama gue. Lo berdua ngapain malam itu."

Remi merasa terpojok, ia memilih untuk membuang pandangan.

"Rem, kalau lu gak mau bilang gapapa. Jujur, gue gak tau detail permasalahan kalian. Tapi kalo lu sampe mukul Hideki kayaknya itu udah serius, coba bicarain baik-baik Rem. Lo sama Hideki temenan bukan setahun dua tahun, tapi dari bocah ingusan, Rem." Baska benar-benar serius sekarang, ia sedikit mencengkeram bahu Remi. "Gue tau banget sifat lu gimana, gue juga tau ego lu segede apa. Tapi gue pikir, lo udah di kuasain ego lu sendiri. Mungkin posisinya Hideki udah nyakitin lu, atau mungkin kesalahannya itu emang gak bisa di maafin, tapi coba lu liat ke belakang. Disaat lo sama Hideki seru-seruan bareng, ke event jejepangan, dan hal seru lainnya."

Remi menunduk.

"Hideki juga bilang gitu," ucapnya.

Baska mengangguk. "Okay gini deh, keputusan ada di lo, Rem. Saling memaafkan atau turutin ego? Tapi kalo lu udah turutin ego lu sendiri, jangan nyesel di kemudian hari. Kita gak tau soal takdir kedepannya bakal gimana. Selagi masih ada, memaafkan bukan hal yang patut dirugikan."

Menunduk semakin dalam, Remi rupanya sedang introspeksi diri.

"Kalo kata Chris, jangan liat siapa yang salah, mau kita yang salah, atau orang lain yang salah. kata maaf itu bukan keluar dari mulut seorang pecundang, tapi dari orang yang paham artinya kata maaf."

Giliran Remi yang mengangguk. Remi mengerti, Hideki juga manusia, dia bisa melakukan kesalahan kapanpun, terlebih lagi Hideki sudah menyadari kesalahannya, bahkan memohon ampun dari Remi.

Sial, Remi merasa jahat sekali. Mau bagaimanapun, Hideki adalah teman sekaligus kakak yang paling ia cintai. Kalaupun tidak bisa ia miliki, setidaknya mereka memiliki kenangan berharga bersama.

Remi jadi kepikiran tentang luka Hideki, apakah tinjuannya sangat sakit? Remi sungguh ingin meminta maaf.

"Bang, gue pikir gue harus nyusul Hideki."

Baska tersenyum, ia menepuk pundak Remi sebelum bocah itu benar-benar berlari menjauh.

Larinya cukup kencang, Remi tidak peduli kalau dirinya jatuh, yang ia pikirkan sekarang adalah Hideki. Ia pikir Hideki masih berada di tempat barusan. Namun setelah sesampainya di depan gerbang tadi, Hideki sudah tidak ada.

Napas Remi tersengal, ia menghirup oksigen dengan rakus sambil mematung di tempat.










××

semalem mau double update
tapi malah turu, gomen😔

Hideki To Remi - Minsung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang