Suasana Ibukota selalu ramai seperti biasanya, Cuaca di jam 11 siang begitu terik membakar kulit. Remi telentang di teras ruangan karang taruna, semua kancing kemeja hitamnya terbuka, memperlihatkan dada serta perut berotot yang belum sempurna itu. Demi apapun, ia sangat kelelahan karena jalan kaki dari kampus. Surai legamnya bahkan terlihat lepek karena keringat, intinya Remi terlihat kacau.
"Kak Remi?"
Mendengar namanya dipanggil, Remi terkejut bukan main, ia langsung menutup sisi kanan kiri kemejanya seperti disilang.
Si bocah gitaris.
Gama masih memakai seragam putih abu, tak lupa jaket denim yang disampirkan dipundak. Sementara itu tas gitar berada di punggungnya.
Refleks Remi melihat jam tangan, lalu kembali menatap Gama yang berjalan menhampiri. "Kok udah pulang? Bolos lu yak?"
Karena merasa dituduh, Gama menggelengkan kepalanya panik. "Dih, udah pulang kali."
Remi mengangguk sambil ber'oh' ria.
"Kak Remi juga ngapain disini sendirian? Gak ngampus?"
"Udah pulang lah, yakali bolos."
"Kok cepet?"
"Ya emang mau berapa jam? Gue cuma ngumpulin tugas doang ke dosen."
Kini giliran Gama yang bergumam, "ohhhh." Setelah itu mengernyitkan dahi kebingungan, tatapannya beralih kepada baju Remi yang terlihat aneh. "Kok gak di kancingin, Kak? Ntar masuk angin."
Refleks Remi menunduk melihat kemejanya, kemudian kembali menatap Gama, "gerah, Gam," ucapnya sambil menggaruk tengkuk yang otomatis kemejanya terbuka sempurna memperlihatkan bagian tubuhnya yang mulus itu.
Gama menelan ludahnya susah payah. "I-iya, g-gerah, Kak."
Sial, Gama jadi gugup.
Detik kemudian terdengar suara derapan langkah kaki berlari mendekat.
Benar saja, Jean langsung merangkul Gama dari belakang. "Ninggalin gue mulu dah ah——BUSET BANG REMI AURAT LO!!!!"
"Berisik, Je ... "
Semuanya menoleh ke asal suara, Hideki datang bersama Baska dari belakang.
"Eh, udah pulang aja lu bedua!" seru Remi.
Baska bukannya menjawab malah bengong menatap Remi, di sisi lain Hideki melirik Baska dan langsung mengusap kasar wajah cowok atletis itu.
"Kancingin napa, Rem," perintah Hideki.
Remi berdecak malas. "Gerah, mang napa si? Gak ada larangan buka baju di siang hari."
Mendengar perlawanan Remi, Hideki menghela napasnya sambil memutar bola mata. Ia melangkah mendekat dan menarik Remi begitu saja, sampai bocah itu terpaksa meninggalkan tasnya.
Di perjalanan menuju rumah Hideki yang tak jauh dari basecamp karang taruna, Remi melepas paksa genggaman Hideki.
Hideki menoleh ke belakang, melihat Remi yang sepertinya sedang marah. "Kenapa? Ikutin gue, gue mau ngomong, Rem."
"Ngomong di sini aja sih, Bang."
"Gak bisa."
"Bisa."
"Gak bisa."
"Bisa."
Hideki mendecak sebal, ia kembali menarik tangan Remi memasuki rumahnya menuju kamar paling atas. Sesampainya di sana, Hideki duduk di tepi ranjang. "Duduk," perintahnya lagi.
Remi menurut begitu saja, namun ia memilih duduk sila di bawah Hideki.
Keduanya saling bertukar pandang cukup lama. Sampai Remi dibuat terkejut karena Hideki tiba-tiba memeluk kepalanya, ia merasakan dagu milik cowok tampan itu bersandar lembut di pucuk kepala.
Hening cukup lama di posisi yang sama, Remi dapat mendengar suara detak jantung Hideki yang berpacu begitu cepat.
"Rem ... "
Remi tidak menjawab.
"Remi, maafin gue."
Dahi Remi mengernyit bingung. "Kenapa minta maaf?"
Hening beberapa saat, sebelum Hideki menghela napasnya dan beralih untuk merebahkan tubuh lelahnya itu di atas ranjang. Remi mendecih. "Aneh, mana joy stick?"
Hideki tidak menjawab, ia hanya menunjuknya di atas nakas.
Setelah itu, mereka mengisi waktu luang dengan Remi bermain game, Hideki ketiduran. Sampai jam menunjukkan pukul 8 malam, keduanya benar-benar tidak lupa waktu.
Hideki menggeliat, ia beranjak duduk dan melihat Remi masih sibuk dengan gamenya. "Udah, sayang. Ngegame mulu," ucapnya.
Remi berjengit kaget, tapi ia tidak menoleh ke belakang. Matanya fokus pada layar monitor. "Ngagetin aja, anying."
"Heh, kasar banget."
"Biarin."
"Kebanyakan gaul sama si bocah sunda."
"Bocah sunda siapa? Haikal maksudnya?"
"Siapa lagi?"
"Yakan dia temen gue, lagian kita sama sama bisa bahasa sunda. Se-frekuensi."
"Ya itu, karena se-frekuensi. Bahasa lu jadi kasar banget sekarang."
Remi mencebikan bibirnya, lalu menghentikan game yang ia mainkan. Perlahan ia menoleh ke belakang, melihat wajah bangun tidur Hideki dengan surai berantakannya, cowok tampan itu duduk di tepi ranjang sambil menatap Remi.
"Kenapa? Mau marah-marah?" Hideki bertanya, setelah mendapati Remi menatapnya cukup lama.
"Siapa yang mau marah, buang-buang tenaga aja." Remi mendekat, lalu duduk sila di bawah Hideki, kepalanya mendongak, menatap Hideki yang sedang menunduk menatapnya juga. Karena ditatap secara tiba-tiba, Hideki tertawa kecil. Gigi-gigi kecilnya terlihat lucu, suara tawanya yang khas membuat Remi ikut tersenyum.
"Kenapa, sayangku?" tanya Hideki dengan lembut.
Remi menggelengkan kepalanya. "Gapapa, abis main game seharian mata jadi lelah. Ini lagi recharge biar matanya balik normal."
Hideki tersenyum mengangkat salah satu sudut bibir, tatapannya menjadi lebih teduh. Ia sesekali berkedip dengan ritme pelan, menatap Remi di bawah yang juga sedang menatapnya dengan kedua manik bulat yang cantik.
Kini keduanya saling bertukar pandang cukup lama.
××
KAMU SEDANG MEMBACA
Hideki To Remi - Minsung ✓
Fanfictionkenapa cowok redflags kayak hideki lebih menarik? [ minsung, lokal!au ] ©jjemonads, 2023.