Sebenarnya ini bukan pengalaman pertama Lika ditolak halus oleh orang tua dari kekasihnya. Bertahun-tahun lalu saat Lika masih menjalin kasih dengan anak seorang pengacara terkenal, dia bukan hanya mendapat penolakan lewat kata-kata, tapi juga segepok uang dari orang tua kekasihnya. Sudah bukan hal baru ketika Lika dipandang sebelah mata, dilihat sebagai wanita matre yang hidup dengan menjual tubuh. Biar bagaimana pun, dia tidak akan bisa mengubah cara berpikir orang lain.
Maka ketika Kirana melakukan hal serupa yang mana itu adalah sebuah penolakan, Lika lebih mampu menguasai diri. Meski tak bisa dipungkiri, kenyataan itu sedikit membuatnya kecewa pada diri sendiri. Namun, Lika sama sekali tidak berniat untuk membalas dengan frontal dan liar. Walau harga dirinya seakan sedang dipertaruhkan, tapi Lika selalu ingat dengan apa tujuannya.
"Apa syaratnya?" tanya Kirana, lagi.
"Syaratnya cuma satu." Lika menyilangkan kaki lalu memajukan badan. Kedua tangannya tertahan di lutut yang bertumpu, matanya menatap lurus Kirana. "Asal Janu yang minta. Saya akan mundur kalau keinginan itu datang dari Janu sendiri."
Kening Kirana berkerut sekilas. Menghindari masalah adalah motto hidup Kirana. Memasukkan seorang public figure terkenal ke dalam keluarga adalah cara paling mudah untuk mengundang masalah. Kirana jelas tahu sepak terjang dan popularitas Lika yang tak bisa dikatakan biasa saja. Sekali media mengendus kedekatan Lika dengan Janu, mustahil nama keluarga Pratama dan brand KiraDara tak ikut terseret.
"Sejujurnya kedatangan saya ke sini bukan untuk Tante dan Om, tapi untuk Janu. Saya tahu seberapa khawatirnya dia menyembunyikan hubungan kami. Saya pengin dia merasa tenang dan bisa menikmati pilihannya. Maka dari itu, saya iyakan ajakan Janu untuk datang ke sini. Walau saya juga tahu, dia berharap saya menolak," tutur Lika, lalu dia mengambil gelas teh.
"Kalau begitu kamu udah tahu kalau Janu sebenarnya nggak berniat untuk mengenalkan kamu ke saya dan suami saya?" tanya Kirana.
Lika mengangguk tanpa ragu. "Janu itu penurut. Kalau Mami-nya bilang A, dia akan lakukan A. Kalau Papi-nya bilang B, dia akan lakukan B. Kalau Tante minta dia ninggalin saya, kemungkinan besar dia akan pertimbangkan, tapi balik lagi ke ucapan Tante diawal. Apakah Tante pernah benar-beanr memastikan kalau apa yang Tante inginkan sejalan dengan apa yang membuat Janu bahagia?"
Kirana memundurkan badan, bersandar pada sofa. Akhirnya dia yang mengalah, dia yang lebih dulu melepaskan tatapan Lika dan membuang pandangan ke arah lain. Kalimat wanita itu kembali menggelitik dirinya untuk berpikir dan terdiam.
"Apa yang Tante inginkan untuk Janu? Kebahagiaan?" tanya Lika.
"Saya pikir itu yang impian semua ibu," sahut Kirana.
"Lalu kenapa Tante meragukan pilihan anak Tante sendiri?" Lika bertanya lagi.
"Nggak semua pilihan harus berdasarkan perasaan. Saya tahu Janu lebih daripada dia mengenal dirinya sendiri," ujar Kirana.
"Contohnya?"
Kirana tak langsung menjawab.
"Tante tahu nggak, kalau Janu lebih merasa damai saat berada di pinggir jalan dengan kebisingan jalan raya di tengah malam, daripada di kamarnya meski sendirian? Kalau Janu yang pendiam dan selalu kelihatan kaku, juga punya dendam ke orang lain yang udah nyakitin orang yang dia sayang?" tutur Lika, tanpa nada menghakimi. Seakan dia hanya ingin memberi tahu.
Kirana meremas tisu yang ada di tangan tanpa sadar. Pandangan dia jatuh pada teapot di meja dalam diam. Sejak kapan Janu suka kebisingan jalan raya? Sejak kapan Janu yang selalu terkenal sabar dan pendiam di keluarga ini menyimpan dendam kepada orang lain? Sejak kapan Janu berubah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Her Lingerie ✅
Romance"Yang tadi itu kamu bilang ciuman?" Lika tertawa pelan sambil mengusap bibir Janu dengan ibu jari. Janu hanya terdiam kikuk. "Emang yang bener kayak apa?" "Mau tahu?" Mata Lika mengerling penuh goda. "B-boleh," sahut Janu, berusaha untuk tidak menol...