Ch. 27 - Two Faced

28.4K 2.4K 465
                                    

"Ganesh?"

Berbeda dari terakhir mereka berjumpa, sekarang Lika yang lebih dulu mengenali pria itu.

"Hai." Wajah muram Ganesh luntur seketika, berganti dengan senyum ramah ketika tatapan mereka bersinggung. Ganesh langsung duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Nando. "Wah! Takdir aku emang nggak pernah jauh-jauh dari kamu kalau lagi di Jakarta."

Lika tertawa kecil, perhatian dia sedikit teralihkan ketika melihat plester yang berada di pelipis Ganesh. "Mau pesan apa? Baru pertama kali ke Sunday's Bar?"

Ganesh mengangguk. "Punyamu apa?"

"Martini. Biasalah," sahut Lika.

Ganesh terkekeh pelan. "Main aman, ya? Supaya nggak teler."

Lika menjentikkan jari. "Betul."

Ganesh lalu menoleh pada barista di belakang bar, dia meminta dibuatkan minuman yang serupa dengan Lika. Sebab, tujuan dia datang ke Sunday's Bar memang hanya untuk meredakan pikirannya yang kacau balau. Tak ada waktu untuk mabuk hingga pingsan karena besok dia ada jadwal penerbangan ke Solo.

"Sama siapa ke sini?" tanya Ganesh.

"Sendiri, tapi lagi nunggu seseorang," sahut Lika, sungguh dia tak tahan untuk pura-pura bodo amat dengan plester di wajah pria itu. Lika menunjuk pelipisnya sendiri sambil menatap Ganesh. "Kenapa?"

"Oh ini?" Ganesh reflek mengusap plester cokelat tersebut, dia tersenyum masam. "Luka gara-gara dipukul sama Mama pakai buku."

Lika diam, tapi raut wajahnya berubah menjadi tak lagi santai. "You okay?"

Ganesh sempat membasahi bibir, menimbang-nimbang untuk bersandiwara agar terlihat baik-baik saja atau menjawab dengan jujur. Namun, pada akhirnya dia menggeleng.

"Aku diminta sama dokter yang tangani Mama supaya nggak datang lagi ke rumah sakit untuk sementara waktu. Karena menurut pengamatan dokter, kehadiran aku bikin Mama ke-trigger terus dan otomatis kondisinya jadi stagnan, kadang juga memburuk," kata Ganesh, seakan sambil menelan pil pahit. Dia menghela napas dan berusaha tetap tersenyum. "So, here I am. Sebenarnya dari kemarin temanku udah ngajak ke sini, tapi aku nggak bisa ikut. Jadi, datang sendiri deh."

Lika ikut tersenyum, simpatinya terurai. Bertahun mereka tidak bertemu, tapi luka yang ada dalam diri pria itu ternyata masih dengan sebab yang sama. Luka yang barangkali sulit untuk disembuhkan.

"Sabar, ya," kata Lika, dia mengangkat tangan untuk mengusap lengan pria itu sekilas. "By the way, sekarang kamu stay di mana? Kan terakhir kamu cerita udah pindah ke maskapai Indonesia."

"Aku stay di salah satu apartemen, di PIK. Cuma ngontrak, masih belum menentukan mau tinggal di mana," sahut Ganesh, lalu dia mengucapkan terima kasih pada barista yang baru saja menyuguhkan pesanannya. "Kamu sendiri gimana? Masih stay di apartemen?"

Lika menggeleng. "Aku memutuskan untuk beli rumah beberapa tahun lalu."

"Karena kamu sadar unitmu udah nggak muat nampung semua barangmu, ya?"

Lika diam sejenak sebelum tawanya pecah. "Gila! Kok masih ingat, sih?"

"Jelas." Ganesh tertawa kecil sebelum menyesap martini. "Kayaknya itu kalimat yang selalu kamu katakan waktu habis beli barang dan menurutku, itu sangat solutif. Daripada berhenti beli barang, mending beli rumah ya kan?"

Lika tergelak, dulu itu selalu jadi lelucon yang dilempar Ganesh untuk menyindir dirinya. "Ucapan adalah doa, Ganesh."

"Nggak juga. Aku doa hal yang sama bertahun-tahun, nggak pernah dikabulkan," sahut Ganesh, lalu dia menyadari kalau ada yang salah dari ucapannya. Ganesh menoleh dan menaruh gelas di meja. "Sori, ya, Lik. Dipertemuan kedua kita, aku masih aja bawa cerita yang nggak enak."

Behind Her Lingerie ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang