Lika cukup tahu diri untuk tidak menahan pria itu agar tetap tinggal disaat Janu sudah meluangkan waktu selama beberapa jam di rumahnya. Namun, tetap saja ada rasa tidak rela saat melihat pria itu sedang bersiap untuk pulang. Ketika Janu hendak mengenakan kemeja, Lika baru beranjak dari ranjang. Dia menghampiri pria yang kini tengah berdiri di dekat nakas itu. Inilah yang Lika khawatirkan sejak awal, dia takut tak bisa mengontrol keinginannya dan malah membuat Janu risih.
"Langsung pulang?" tanya Lika, sembari memeluk pria itu dari belakang.
Janu mengangguk seraya memasang kancing kemeja. "Udah jam setengah 11, Lik."
"Mami kamu udah nyuruh pulang, ya?" Lika menumpu dagu di bahu Janu.
"Justru sebelum Mami nyariin, saya harus pulang." Janu memutar tubuh lalu mengusap puncak kepala Lika. "Lagian ini udah malam, kamu juga harus istirahat."
Lika tersenyum tipis. Padahal akan lebih menyenangkan kalau mereka istirahat bersama, di kamar yang sama pula. Namun, terlalu mustahil untuk menahan pria itu. Janu punya keluarga dan aturan, tidak seperti dirinya yang bebas ingin melakukan apa saja.
"Oke," sahut Lika, seraya melepaskan pelukan dari Janu dengan tidak rela. "Kapan pun kamu mau datang ke sini, jangan sungkan."
"Saya nggak tahu hubungan kita itu apa, Lika. Tapi dengan apa yang sudah kita lalui belakangan ini, kamu nggak mungkin saya lewatkan." Janu merapikan rambut Lika yang sedikit berantakan. "Saya pasti datang lagi. Besok, lusa, atau entah kapan. Tergantung kamu butuhnya kapan."
Lika diam sejenak.
Memang benar.
Sesungguhnya apa hubungan mereka sekarang?
"Janu." Lika menahan ujung kemeja pria itu. Keduanya saling bertatapan. "Kamu udah bisa ikhlaskan mantanmu yang kemarin?"
Janu menipiskan bibir sekilas. "Saya pikir, kalau pun saya masih teringat dia, bukan berarti saya juga masih cinta sama dia."
Lika tersenyum masam. Janu sama sekali tak menjawab pertanyaannya.
"Tapi yang pasti, teringat soal Dian bukan lagi jadi sesuatu yang saya suka," lanjut Janu, membuat Lika kembali fokus menatapnya. "Mikirin istri orang cuma bikin saya merasa bodoh."
"Kalau mikirin aku?" tanya Lika, cepat.
Janu membuang pandangan ke gorden di belakang gadis itu. "Kamu ... kadang bikin saya nggak fokus. Kamu itu lebih kayak distraksi. Kadang saya kesal kenapa muka kamu suka muncul di pikiran saya, disaat-saat yang nggak tepat pula."
Lika berdecak lalu memukul pelan dada pria itu. "Kesannya aku ganggu banget."
"Emang kadang mengganggu," sahut Janu, tanpa dosa.
"Ya, udah! Cari aja distraksi lain biar muka gue nggak memenuhi pikiran lo," balas Lika, ketus. Dia lantas berbalik dan mengambil kimono satin yang tergantung di dekat walk in closet untuk melapisi lingerie pink yang melekat di tubuhnya.
"Kamu kenapa, sih, marah-marah mulu?" Janu mengekori gadis itu. "Saya kan nggak bilang kalau saya nggak suka tiap muka kamu muncul di pikiran saya."
Lika lantas menoleh. "Makanya ngomong itu yang bener."
"Kamu udah marah-marah duluan." Janu mengambil tali kimono Lika dan menyimpulkan dengan rapi di pinggang gadis itu. "Saya pulang dulu, ya. Jangan lupa kunci pin—"
Sebelum Janu menyelesaikan kalimatnya, Lika sudah lebih dulu maju selangkah untuk mengecup bibir pria itu. Janu mematung, sementara Lika langsung tersenyum manis ketika bibir mereka berpisah. Janu berpikir, apa tidak cukup bagi Lika untuk mengobrak-abrik pikirannya malam ini? Tidakkah Lika pernah berpikir bahwa setiap sentuhan yang gadis itu beri selalu membuat Janu merinding saat terngiang-ngiang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Her Lingerie ✅
Romantizm"Yang tadi itu kamu bilang ciuman?" Lika tertawa pelan sambil mengusap bibir Janu dengan ibu jari. Janu hanya terdiam kikuk. "Emang yang bener kayak apa?" "Mau tahu?" Mata Lika mengerling penuh goda. "B-boleh," sahut Janu, berusaha untuk tidak menol...