Ch. 19 - No Need to Worry

39.5K 3.3K 336
                                    

Usai sholat Maghrib di salah satu masjid, Nando mengajak Maura untuk makan di kedai mie kangkung yang terletak tak jauh dari tempat ibadah mereka. Saat menyadari langit mulai gelap, Nando berpikir untuk tidak mengajak Maura makan jauh-jauh agar wanita itu tidak pulang terlalu malam. Selain itu, ia juga ingin istirahat lebih lama sebelum melakukan perjalanan panjang ke Swiss besok siang.

"Maaf, ya, Mas. Jadi harus nungguin aku makan, padahal Mas Nando udah selesai dari tadi," kata Maura, setelah menyeka bibir dengan tisu.

Nando berdecak pelan. "Santai aja, sih. Saya udah biasa nunggin orang makan. Entah saya yang rakus atau orang lain yang durasi makannya lama."

Maura tertawa kecil. "Mas Nando langsung pulang?"

"Ngusir, nih?"

"Nggak," sahut Maura, cepat.

Nando menarik tisu untuk menyeka keringat. "Kamu itu emang selalu dijemput ayah?"

Maura mengangguk. "Kayak anak kecil, ya. Udah umur segini masih suka diantar jemput sama orang tua."

"Nggak juga, sih, tapi paling kalau ada cowok yang dekati kamu, langsung ketar-ketir karena saingannya bapakmu sendiri," seloroh Nando, enteng.

Maura tersenyum sembari menunduk sekilas. "Cemen banget kalau tahu gitu doang langsung takut. Pasti nggak bakal direstui sama Ayah."

"Emang Ayah kamu suka calon menantu yang kayak gimana?" tanya Nando.

"Nggak ada kriteria spesifik, tapi orang tua kan instingnya lebih kuat dari kita. Jadi, kalau Ayah setuju dan Ibu kasih restu, berarti cowok itu udah berhasil jadi calon menantu orang tuaku," ujar Maura.

"Tapi biar gimana pun, pilihan dari kamu itu lebih penting," kata Nando, sembari menatap Maura. "Orang tua pasti pengin dapat menantu yang sempurna, tapi jangan sampai bikin kamu menderita karena harus hidup sama orang yang bukan pilihan kamu."

Maura tak langsung menjawab, dia tersenyum tipis. "Iya, Mas."

"Saya itu bukan sok tua, lho, ya," seru Nando, dia kembali menyampirkan ransel di pundak. "Saya juga belum menikah, nggak tahu lika liku pernikahan kayak apa. Cuma kasih saran."

Maura terkekeh. "Iya, Mas. Makasih banyak sarannya."

"Udah selesai kan?" Nando hendak bangkit.

Maura mengangguk. "Makasih juga udah ditraktir. Nanti gantian aku yang traktir Mas Nando, ya."

Nando mengacungkan jempol seraya berdiri. "Aku ini kayak anak kecil, lho. Kamu kasih janji, pasti aku tagih terus."

Maura tersenyum, lalu dia bergumam pelan. "Aku?"

"Emang nggak boleh pakai aku-kamu?" tanya Nando, seperti tak membutuhkan jawaban. Dia melangkah lebih dulu untuk keluar dari kedai mie kangkung. Begitu sampai di luar, langit sudah gelap. Nando melihat arloji yang sudah menunjuk jam tujuh lewat. Dia menoleh pada Maura yang baru keluar. "Mau aku antar?"

Maura langsung menggeleng. "Nggak mau merepotkan lagi. Aku bisa naik ojol kok."

"Nggak apa-apa, Mau. Nggak bakal aku tagih ongkosnya," ujar Nando.

"Makasih, tapi nggak usah. Serius," kata Maura.

"Emang rumahmu di mana, sih?" tanya Nando.

"Di Cluster Serena."

Nando terkejut. "Lah, itu mah dekat rumah si Tasya! Udahlah, diantar aja. Aku tahu jalan alternatif ke sana biar lebih cepat sampai dan nggak kena macet."

Maura tersenyum, tak enak hati untuk memberi penolakan sekali lagi. "Nggak usah kok, Mas. Beneran, deh. Lagipula aku nggak enak sama pacar Mas Nando."

Kening Nando lantas berkerut dalam. Sejak kapan pula status dia berubah? "Pacar?"

Behind Her Lingerie ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang