Satu minggu setelah dia dan Lika memustukan untuk kembali bersama, situasi langsung berubah menjadi seperti semula. Dia lega karena Lika tidak lagi bersikap canggung padanya. Sebab, diam-diam Janu pun merindukan sifat agresif Lika yang terkadang tampak semena-mena, tapi mampu menyentuh dasar hatinya.
Seolah takdir ikut bermain, dua hari lalu Kirana meminta Janu untuk mengajak Lika makan malam bersama di rumah. Janu tidak menolak, dia menyambut ajakan sang ibu dengan senang. Janu pikir, ini bisa menjadi langkah baru untuk memperkenalkan Lika sebagai pasangannya di hadapan keluarga.
Sayangnya, ketika Lika tiba di rumah, Kirana dan Rajendra masih dalam perjalanan pulang usai menjenguk salah satu keluarga. Alhasil Janu lantas mengajak Lika untuk menunggu di perpustakaan mini milik keluarganya.
"Aku ingin mencintaimu dengan keras kepala dan tanpa logika."
Janu sontak menoleh kala mendengar suara sang kekasih.
"Kata Arman Dhani, bukan aku." Lika terkekeh sambil menunjukkan sebuah buku berjudul Eminus Dolere. "Tapi kalimatnya sangat mewakili perasaan aku ke kamu."
Janu hanya tersenyum. "Itu bukunya Keenan."
"Oh ya?" Lika kembali mengecek kolom rak tempat dia mengambil novel tersebut. "Jadi siapa aja penyumbang buku terbesar di rumah ini?"
"Keenan, Mami, dan aku," sahut Janu, sembari menaruh buku di rak lalu dia melangkah menuju sofa yang ditempati Lika. "Kalau ada yang mau kamu baca, bawa pulang aja."
"Aku baca buku?" Lika langsung mendengus sambil menutup buku yang dia pegang. "Lebih baik aku dengar kamu ceritain isi bukunya. 24 jam nonstop pun tetap aku dengarkan."
"Kalau itu, sih, jagonya Keenan. Dia bisa ceritain ulang satu buku dengan detail," sahut Janu, seraya duduk di sebelah Lika.
"By the way, Kokoh kamu masih di Jakarta kan?" tanya Lika.
Janu mengangguk. "Besok aku mau main sama dia."
"Seharian?"
"Mau ikut?"
"Canggung nggak, sih?" Lika menatap pria itu dengan ragu.
"Dia friendly kok," ujar Janu. Selalu ingat dengan karakter Keenan yang mampu mengajak siapa saja berbicara pada pertemuan pertama tanpa ragu, tak terkecuali tukang parkir, pedagang kaki lima, bahkan kolega penting sekali pun.
"Nggak, deh." Lika menggeser posisi duduk agar menjadi lebih dekat Janu. "Biar kamu bisa quality time sampai puas sama Kokohmu."
Janu mengusap puncak kepala Lika sekilas. "Nanti aku atur pertemuan dengan Kokoh. Dia selalu penasaran sama kamu."
"Serius?" Lika terkejut sendiri. "Emang kamu sering cerita soal kita ke dia?"
"Nggak sering, tapi pernah. Sejak saat itulah dia mulai kepo sama kamu. Pertama kali kalian ketemu kan di rumah duka waktu Amah meninggal dan situasinya bener-bener nggak tepat. Aku juga merasa nggak enak aja kalau Kokoh belum kenal kamu dan sebaliknya," ujar Janu.
"Menurut kamu, sifat Keenan lebih mirip Tante Kirana atau Om Rajendra?" tanya Lika, sedikit hati-hati. Dia hanya ingin mempersiapkan diri untuk menghadapi Keenan suatu hari.
"Dia punya ciri khasnya sendiri," sahut Janu, masih sambil menatap Lika. "Don't worry. Dia nggak akan interogasi kamu kayak waktu ketemu sama Mami."
"Kamu juga kenalin Keenan ke mantan kamu?" tanya Lika, mendadak ia penasaran. "Mantan terindah kamu itu, lho."
Janu mengangguk.
"Terus gimana reaksi Keenan saat itu?" tanya Lika, lagi.
"Lupa," sahut Janu. Dia bisa melihat kekecewaan dari wajah Lika karena rasa ingin tahunya tidak terjawab, tapi Janu paling enggan membicarakan masa lalu dengan sosok yang ada dalam gambaran masa depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Her Lingerie ✅
Romance"Yang tadi itu kamu bilang ciuman?" Lika tertawa pelan sambil mengusap bibir Janu dengan ibu jari. Janu hanya terdiam kikuk. "Emang yang bener kayak apa?" "Mau tahu?" Mata Lika mengerling penuh goda. "B-boleh," sahut Janu, berusaha untuk tidak menol...