Janu memejamkan mata tepat ketika kakinya menginjak lantai rumah. Dia bersandar sejenak pada pintu utama yang tertutup. Ada desakan yang seakan menekan dadanya sejak keluar dari rumah Lika setengah jam lalu. Rasa bersalah yang tidak bisa terelakkan, selalu saja hadir ketika Janu terpaksa meninggalkan Lika pada malam-malam setelah mereka bercumbu. Sejujurnya dari hati yang paling dalam, Janu pun ingin bermalam dengan wanita itu. Meringkuk bagaikan janin di perut dalam pelukan Lika, tapi meski usianya sudah menginjak 29 tahun, kebebasan yang Janu miliki tetap terbatas. Sebab, dia hidup dalam aturan yang sulit dilanggar.
"It's okay, Janu. Lika pasti mengerti." Pria itu menghela napas perlahan sebelum melanjutkan langkah memasuki rumah.
Jam sudah menunjuk tengah malam saat Janu tiba di rumah. Lampu pada bagian ruang tamu telah dimatikan. Semua penghuni rumah telah masuk ke kamar masing-masing, kecuali petugas keamanan yang berjaga di luar. Janu memutuskan untuk meneruskan langkah ke lantai dua, di mana kamarnya berada.
"Baru pulang?"
Seketika kaki pria itu berhenti. Dia menoleh ke arah sumber suara yang seolah baru saja menangkap basah keberadaan dirinya. Janu mendadak gugup kala melihat sang ibu yang muncul dari dapur.
"Mami belum tidur?" tanya Janu. Sesaat dia berpikir, mungkinkah Kirana akan mengungkit masalah dirinya yang sudah mengabaikan telepon dari sang ibu tadi? "Ponsel aku tadi ketinggalan di mobil. Jadi nggak tahu kalau Mami telepon."
"Mami tahu. Kamu emang pelupa buat hal-hal begitu." Kirana menggangguk, lalu dia berbelok ke area kabinet dapur. "Tadi Mamanya Nando datang ke sini bawain oleh-oleh. Katanya Nando mau ke Swiss akhir tahun, ya?"
Ketegangan dalam diri Janu pun mereda. "Iya, Mi. Dia udah ajukan cuti dari kemarin."
"Kamu dari mana tadi?" tanya Kirana.
Janu menelan saliva tanpa sadar. "Itu ... ketemu sama teman."
Kirana membuka kulkas untuk mengambil infuse water. "Kamu kalau punya pacar bilang aja."
Janu reflek membuang pandangan ke anak tangga. Meski tidak bertatapan langsung dengan Kirana, tapi tetap saja ucapan sang ibu seperti telak menelanjangi isi pikirannya.
"Nggak ada, Mi."
"Bawa ke rumah. Jangan diam-diam kayak anak SMP. Kamu itu udah waktunya menikah, Janu." Kirana kembali menutup kulkas, dia beralih untuk mengambil gelas di laci.
"Baru dekat doang," sahut Janu, pelan.
"Selama pacar kamu cewek, Mami akan sambut dia dengan baik kok," ujar Kirana, seraya menuangkan infuse water ke gelas.
Janu terdiam sejenak.
Kirana pun menoleh, menatap sang putra. "Cewek kan?"
Janu mengangguk. "Iya, Mi."
Raut wajah Kirana yang sempat tegang pun berubah lega. "Tadi Mami telepon karena Cece video call dan nanyain kamu. Nanti kamu telepon balik dia."
"Iya, nanti aku telepon Cece," kata Janu. Sudah lama juga dia tidak berkomunikasi dengan kakaknya. "Ke kamar dulu, ya, Mi. Good night."
"Night."
Janu segera melanjutkan langkah menyusuri anak tangga tanpa menoleh lagi. Dia sangat menghormati Kirana sebagai sang ibu, pun ia sangat mencintai wanita yang sudah melahirkannya ke dunia itu. Namun, dari lubuk hati yang paling dalam, terkadang Janu merasa hubungan dirinya dengan Kirana cukup dingin untuk ukuran ibu dan anak. Padahal selama 29 tahun dia hidup, tidak pernah sekali pun Kirana mengalihkan tanggung jawab sebagai orang tua kepada orang lain. Wanita itu tetap mengurus keempat anaknya sendiri meski dengan bantuan pengasuh. Selalu menyempatkan mengambil rapor, menyiapkan bekal, hingga mengecek dan membantu tugas sekolah anak-anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Her Lingerie ✅
Romantizm"Yang tadi itu kamu bilang ciuman?" Lika tertawa pelan sambil mengusap bibir Janu dengan ibu jari. Janu hanya terdiam kikuk. "Emang yang bener kayak apa?" "Mau tahu?" Mata Lika mengerling penuh goda. "B-boleh," sahut Janu, berusaha untuk tidak menol...