Menerobos jalan Jakarta pada malam akhir pekan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tingkat kesabaran tak terbatas. Jika tidak, sepanjang perjalanan pasti akan diisi dengan misuh-misuh berserta helaan napas penuh emosi, seperti yang Janu alami setelah terjebak satu jam di mobil dalam perjalanan menuju Sunday's Bar. Begitu turun dari mobil, dia langsung bergegas ke night bar yang tak pernah sepi itu. Janu memperbesar langkah sembari mencari kontak Nando di ponsel.
"Kok nggak diangkat, sih?" Dia berdecak kala hanya mendengar dering ketika menelepon sang sahabat.
Kini jam sudah menunjuk angka setengah 12 malam, keramaian di Sunday's Bar semakin memuncak. Satu jam lalu, Nando mengabari bahwa pria itu melihat Lika tengah menangis di Sunday's Bar sendirian. Tak pakai lama, Janu yang sudah kalut dalam kekhawatiran, segera menyusul. Dia telah menghabiskan waktu empat jam mencari Lika di Grand Indonesia, tapi nihil. Semua telepon dan pesan yang ia kirim tak berbalas sama sekali.
Ketika Janu nekat pergi ke rumah Lika, yang ia temukan hanya rumah kosong. Gadis itu ternyata belum juga pulang. Janu benar-benar merasa frustrasi, tidak ada satu pun orang yang bisa menghubungkan dia dengan Lika. Namun, semesta menjawab harapannya secepat kilat saat Nando menelepon.
"JANU!"
Sontak pria itu menoleh pada sumber suara.
"SINI!" Nando melambaikan tangan dengan susah payah. Tangan kirinya menahan pinggang Tasya, sementara tangan kanan menahan lengan Lika.
Janu buru-buru menghampiri Nando ketika ia hampir melewati pintu masuk. Dia menduga baik Tasya mau pun Lika sudah hilang kesadaran. Tasya meracau tak jelas, tentu saja disertai ucapan kasar sembari menjambak rambut Nando untuk minta dilepaskan. Sementara Lika bersandar pada dinding di belakang Nando dengan mata terpejam.
"Buruan pegang, nih, cewek lo. Dia hampir mukul kepala orang pakai botol!" ujar Nando.
"Serius?" Janu membelalak, dia langsung menahan tubuh Lika yang limbung. Janu membiarkan kepala Lika jatuh di pundaknya. "Lik? Kamu masih sadar?"
"Nando! Lepas!" Tasya berteriak tepat di telinga Nando.
"Astagfirullah! Lama-lama gue budek beneran, nih!" Nando mendorong kening Tasya.
"Do, lo bawa Tasya pulang, ya. Gue mau urus Lika," kata Janu.
"Iye!" sahut Nando. Sekali pun Janu tak bilang, memang itu yang akan ia lakukan. "Udah sana lo bawa Lika cabut. Kayaknya dia kacau banget tadi. Kalian kenapa, sih?"
"Panjang ceritanya," sahut Janu, masih berupaya memapah Lika, tapi gadis itu malah mengerang.
"Singkatnya aja," kata Nando, masih penasaran.
"Pokoknya gara-gara gue bego," balas Janu, benar-benar singkat.
"Oh, pantes." Nando tak heran. Dia kembali fokus pada Tasya yang terus saja memekik di telinga. "Ayo, ayo pulang!"
"Mau dance di dalem!" sahut Tasya.
"Jangan! Ntar lo gepeng karena kejepit." Nando mulai menggiring Tasya untuk berjalan. "Tuh! Tuh! Ada tukang cilok di depan. Ntar lo diculik. Mau?"
"NGGAK!" jerit Tasya, langsung memeluk leher Nando.
"Makanya pulang aja."
Tasya mengangguk. "Pulang."
"Iya, ke rumah," kata Nando. Beruntung kebegoan Tasya meningkat dia kali lipat setiap gadis itu mabuk.
Sementara itu, Janu masih mencoba merayu Lika untuk pulang. Dia menepuk-nepuk pelan pipi Lika yang sedikit memerah. Maskara dan eyeliner di mata gadis itu sudah luntur. Setelah membuat Lika menangis, sesungguhnya Janu menjadi takut atau mungkin terlalu khawatir akan menyakiti wanita itu lagi. Sebelum dikabari Nando, Janu berpikir untuk membuat jarak dengan Lika sampai gadis itu bisa memaafkan dirinya. Namun, di sisi lain, Janu tidak ingin masalah ini membesar lalu menguap dan tak pernah menemukan jalan keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Her Lingerie ✅
Romance"Yang tadi itu kamu bilang ciuman?" Lika tertawa pelan sambil mengusap bibir Janu dengan ibu jari. Janu hanya terdiam kikuk. "Emang yang bener kayak apa?" "Mau tahu?" Mata Lika mengerling penuh goda. "B-boleh," sahut Janu, berusaha untuk tidak menol...