03. Melepaskan

596 94 6
                                    

Jaejong duduk di ruang makan. Hanya cahaya remang yang menemaninya. Sudah hampir dini hari tapi matanya tidak mau menutup sedikitpun. Pikirannya tidak mau beristirahat. Jaejong memegang selembar kertas yang berisikan karangan Sohee tentang dirinya. Membacanya berulang kali sepanjang malam hingga setiap kata terpatri di otaknya.

Bibirnya bergetar, dan matanya mulai meneteskan bulir-bulir air mata. Jaejong meremat kertas di tangannya sambil menyandarkan kening di meja makan. Dia mengerang lirih untuk menyalurkan rasa sakit di hatinya. Mengingat lagi semuanya, ketika satu per satu orang yang berharga baginya pergi meninggalkannya. Ayahnya, ibunya, sahabatnya, istrinya, dan sekarang putrinya..

Sohee sudah membulatkan tekad untuk keluar dari rumah Jaejong seperti yang istrinya lakukan dulu. Jaejong sudah membujuknya untuk berpikir ulang sejak dari taman bermain hingga kembali lagi ke rumah, tapi Sohee tetap tidak ingin tinggal bersama Jaejong lagi. Dia ingin mencari ayah kandungnya. Dia malu memiliki wali seorang homoseksual..

Jaejong tertawa getir di sela isakannya. Homoseksual.. Hanya karena itu.. Hanya karena itu hidupnya kini kacau. Sebuah perasaan tabu yang membelenggunya hingga saat ini. Apakah keputusannya untuk menerima perjodohan dulu itu salah? Lalu apa yang seharusnya dia lakukan? Memperjuangkan perasaan tabunya seperti yang selalu dia impikan? Jaejong hanya berusaha hidup normal sesuai keinginan semua orang. Dia berusaha.. Benar-benar sudah berusaha.. Dia hanya belum berhasil.. Andai dia diberi sedikit waktu lagi, dia pasti bisa membunuh perasaannya itu.. Tapi kenapa tidak ada yang mempercayainya.. Kenapa semuanya malah berakhir dengan menyikiti dirinya sendiri dan orang lain.. Kenapa semua orang yang dia perjuangkan tidak mau berdiri di sampingnya.. Ayahnya, ibunya, istrinya, kedua mertuanya, mereka semua hanya mendorongnya untuk menyebrangi jurang, tapi ketika dia kesulitan melangkah di tengah jembatan, tidak ada yang mengulurkan tangan maupun menunggunya di ujung jembatan, mereka semua pergi setelah mendorongnya, setelah dia membuang satu-satunya sahabat, satu-satunya cinta di hatinya ke kegelapan jurang itu.. Membiarkan Jaejong berjuang sendirian terombang ambing di tengah jembatan di atas jurang yang dalam.. Kelahiran Sohee lah yang menyelamatkannya, seorang bayi yang membuatnya mendapat keberanian untuk melangkahkan kaki menyebrangi jembatan itu, memberinya alasan untuk bertahan dan berjuang lagi. Tapi sekarang bayi mungilnya pun ikut meninggalkannya..

Jaejong menutup kedua matanya, meloloskan semua air mata yang terbendung, meratapi perasaan yang dianggap tabu oleh semua orang di sekitarnya itu..




"...Kenapa kalian semua meninggalkanku..."
Jaejong bergumam lirih di sela isakannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sohee menyandarkan tubuh di balik dinding. Dia sudah membulatkan tekad, tapi kenapa hatinya tetap sakit melihat Jaejong menangis seperti itu.. Seumur hidupnya dia tidak pernah melihat Jaejong menangis barang sekalipun. Dia berpikir Jaejong adalah orang yang kuat, tapi kenapa sekarang terlihat sangat rapuh..

Akhirnya Sohee memutuskan untuk kembali ke kamarnya, melupakan rasa haus di tenggorokannya. Tekadnya sudah bulat, dia sudah berkemas, dia ingin tinggal bersama dengan keluarga yang sesungguhnya.

-------------------------

Pagi harinya, Sohee sudah siap dengan 2 buah koper di tangan. Beberapa kardus di kamarnya juga sudah siap diangkut ke mobil. Jaejong dengan mata sembabnya menahan langkah Sohee, masih berusaha membuatnya berubah pikiran.

"Sohee.. bisakah kau mempertimbangkannya lagi? Aku akan merawatmu dengan baik, aku berjanji! Ijinkan aku merawatmu, mn?"

"Tidak. Biarkan aku pergi."

"...Apakah hanya karena aku pernah menyukai seorang pria? Kau malu karena itu?"

"....."

"Aku sudah membuang jauh-jauh perasaan itu! Percayalah! Aku akan berubah seperti yang kau inginkan. Kau ingin aku menjadi pria normal? Aku akan menjadi pria normal. Aku akan benar-benar melakukannya agar layak menjadi ayahmu! Aku bahkan rela tidak menyukai siapapun lagi seumur hidupku!"

PointlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang