"Sekali lagi berulah, tulang lehermu patah!"
"Ampun, Bu. Ampun."
Aku mendengar keributan dari dalam rumah. Beberapa tetangga sudah mengintip di jendelanya masing-masing. Aku yang saat itu baru pulang bekerja gegas mempercepat langkah.
Keadaan rumah sudah berantakan. Baju seragam Sekar koyak. Rambut anak itu juga tak kalah mengerikan.
"Mau berulah lagi, hah?! Kamu pikir nyari uang buat sekolah itu murah? Kamu pikir kakekmu yang kaya raya itu bermurah hati memberikan secuil hartanya tanpa syarat?"
Sekar menggeleng.
Cukup sampai di sana? Sayangnya tidak. Entah apa yang membuat Ibu kalap padahal jelas-jelas Sekar sudah mengiba. Ibu mengayunkan sutil di baru dia ambil dari minyak goreng yang sangat panas untuk ditempelkan di paha Sekar. Aku dan Sekar menjerit bersamaan. Kali ini fokus Ibu berpindah. Ibu memajukan tungkainya menuju keberadaanku. Seram, itu yang aku rasakan. Selayaknya orang kesurupan, wanita tua itu terus merangsek dengan beda di tangannya. Benda yang baru saja melahap korban. Seperti Sekar, aku menggeleng.
"Kamu mau bela adikmu?"
"Nggak, Bu," jawabku seraya memundurkan langkah.
Gerak Ibu terhenti ketika Sekar beranjak hendak kabur. Ibu kian murka. Diseretnya anak itu menuju kamar dan berhari-hari Sekar berasa di dalamnya. Begitulah keributan yang kuingat hanya karena Sekar diantar oleh teman lelakinya.
Ibu sudah melarang Sekar berpacaran. Seperti yang kita tahu, Sekar adalah gadis remaja pada umumnya. Semu merah jambu di pipi umum dirasakan gadis seumurannya jika bertemu lelaki yang ia suka. Mirisnya, Ibu menganggap hal itu sebagai kriminalitas.
“Sekar senang di dekat dia, Mbak. Orangnya bijaksana, ngertiin Sekar, lemah lembut.” Ucapan Sekar menginterupsi lamunanku.
Begitu penuturan Sekar. Raut wajahnya berseri kala menceritakan sosok yang ia kagumi. Tiga tahun berlalu, baru kali ini aku melihat binarnya dari mata yang keseharianya menjamukan sayu.
Bukan terkejut karena mendengar Sekar mulai terpikat pada seseorang. Bukan pula takut Ibu tahu, lalu mengurung Sekar seharian, seperti dulu ketika ketahuan pacaran. Detak jantungku melemah kala Sekar mengatakan sesuatu yang membuat aku kehilangan kata di tengah perbincangan kami.
“Dia benar-benar keibuan,” tambahnya.
“Keibuan?” Kulontarkan pertanyaan itu. Siapa tahu Sekar salah sebut.
Sekar mengangguk yakin. “Dia bukan laki-laki, Mbak.”
Aku terdiam sejenak, memikirkan maksud Sekar.
“Bukan laki-laki?” tanyaku ulang.
Sekar mengangguk, lagi. Memangnya ada gender lain, selain laki-laki dan perempuan? Jika bukan laki-laki, artinya .... Di detik inilah jantungku rasanya berhenti bertalu. Sekar, anak perempuan yang Ibu larang menjalin asmara dengan lawan jenis menjelma menjadi seorang lesbian?
Dua hari pasca perbincangan kami, setelah kurenungkan, aku jadi memahami—bukan membenarkan—yang sudah dilalui Sekar hingga membuat ia seperti itu. Bagi Ibu, laki-laki di kehidupan kami hukumnya haram! Seperti yang sudah kuutarakan sebelumnya, Sekar terkurung hari itu tanpa diberi makan dan minum akibat terpergok berkencan adalah sebagian kecil yang harus kami lalui bila bertindak nekat. Sejak hari itu, hidup Sekar tak lagi merdeka. Kehidupannya hanya seputar tidur, makan, sekolah, dan rumah. Barangkali itu yang melatarbelakangi ia menjadi seperti ini.
Sejak kecil, Ibu memberlakukan banyak aturan. Orang-orang mengatakan, itu cara Ibu menjaga kami. Aku dan Sekar lebih senang mengartikannya sebagai penjajahan. Atau mungkin jika harus aku analogikan, cara Ibu merawat kami seperti tanaman yang ia simpan apik dalam etalase. Ia pupuk dan sirami setiap hari. Tak boleh ada yang menyentuh sama sekali sebelum tanaman itu tumbuh sempurna.
Tanaman itu akan Ibu panen dengan menjajakan putri-putrinya kepada siapa saja yang memiliki uang, seperti yang ia lakukan padaku sekarang. Aku sedang dipersiapkan untuk disuguhkan pada kerabat Hadiwijaya. Berbeda denganku, rupanya Sekar tidak tumbuh seperti yang Ibu impikan.
“Dia ngasih Sekar perhatian, Mbak.”
Aku juga masih ingat, betapa berbinarnya mata Sekar saat menceritakan sosok yang ia kagumi.
“Kemarin dia kasih Sekar gelang. Itu, lho, yang suka dipake sama santri-santri. Apa ya namanya?” Sekar tampak berpikir. “Ah, ya ... kaukah atau ... kokka, ya? Ah, itu pokoknya.”
“Dia itu santri?”
Sekar memandang langit kamar. Sembari duduk, kakinya bergerak maju mundur, membentur ranjang.
“Sekar belum nanya, sih. Tapi, yang pasti dia religius,” tuturnya.
Aku tidak mengerti sosok religius itu bagaimana. Dibesarkan oleh Ibu yang menghamba pada materi, aku tak mengenal baik agama. Aku makin mengerti, mengapa Sekar sebahagia itu. Ia menemukan, apa yang tidak ada di keluarga ini.
Di tengah lamunan soal perbincangan dengan Sekar dua hari lalu, terdengar perdebatan di kamar Ibu. Aku yang berniat mengambil minuman di dapur tidak tertarik dengan perbincangan Ibu dan Sekar. Namun, ketika namaku disebut, aku pasang telinga baik-baik.
Sial! Pembicaraan mereka justru melontarkan gulungan benang kusut yang harus aku rapikan“Mbak Nara harus tahu!”

KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
Mystère / ThrillerSetelah kematian Ayah, petrikor menjadi aroma yang kubenci. Bagiku, aroma tersebut seperti kutukan yang selalu menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta. Seperti saat ini, setelah malam kemarin ia bertandang, esok harinya aku disuguhkan oleh jasad...