Vila yang diakui sebagai milik keluarga Andi memiliki gaya mediterania klasik minimalis. Di beberapa bagian tampak sekali bahwa vila itu berusia lumayan tua. Salah satu buktinya, yakni ayunan berkarat di belakang taman.
"Kamu punya adik?"
Andi yang sedang menghisap nikotin di jendela menoleh. Cara duduk ala preman yang sedang lelaki itu tampilkan tak sepadan dengan megahnya vila ini, juga kulit bersih serta rambut klimisnya.
"Nggak," jawabnya singkat, lalu melanjutkan hisapannya.
"Terus, itu ayunan kamu waktu kecil?"
"Nggak juga. Itu ayunan ibaratnya ... tak bertuan. Jadi, siapa aja yang sewa vila ini bisa pake. Singkatnya, itu fasilitas."
"Vila ini disewakan? Bukannya tadi kamu bilang ini milik pribadi dan hanya dipakai saat keluarga kamu liburan aja? Selebihnya, vila ini kosong." Kuulangi lagi informasi yang Andi berikan saat memasuki pintu utama, kalau saja dia lupa.
Andi lekas mematikan rokok di tangan. "Kamu mau lihat ruangan yang lain?". Secara tiba-tiba ia bangkit, meraih pergelangan tanganku tanpa izin.
Andi menawarkan berkeliling dan aku mulai merasa ada yang janggal. Seraya berjalan ke lantai dua, aku memulai pertanyaan. "Ibuku ngancam apa sama kamu?"
"Ibumu lumayan seram. Tapi, biasanya orang bermulut besar itu gaungnya kayak singa. Pas dilihat, meongan kucing. Jadi, bukan masalah besar." Andi mengibaskan tangan.
"Dia ngancam apa memang?" tanyaku ulang.
"Ibumu mau bunuh aku kalau nggak mau ninggalin kamu."
"Dan hari itu kamu takut?" kutatap wajah Andi seraya terus melanjutkan derap langkah di antara anak tangga.
"Mana ada?" sangkalnya.
"Buktinya, kamu pergi." Aku menyudutkan.
"Selain ancam bunuh aku, dia juga bilang bakal siksa kamu kalau aku nggak mau pergi dari sana hari itu. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu kalau aku bersikeras di sana."
Aku tersenyum getir. Ibu tetap saja menyiksaku. Kami sampai di lantai atas. Di bagian ini terdapat tiga kamar, lengkap dengan kamar mandi. Selain kamar, ruangan lain berdiri tanpa sekat. Hanya terdapat pilar-pilar yang menjadi pemisah fungsi antara tempat satu dengan tempat yang lain. Selain pilar-pilar kokoh tersebut, ada satu hal yang mencuri perhatianku. Jam dinding di salah satu sudut vila seperti memaksa kepalaku untuk mengingat sesuatu. Tapi apa? Kuselami memori demi memori untuk mendrobrak rasa tak asingku ini. Namun sayangnya, tak ada kenangan satu pun yang berhasil aku bobol tentang jam itu.
"Kamu bilang mau ngenalin aku ke keluarga kamu. Mereka mau ke sini?" Kupindai pandangan ke sekeliling. Aku baru menyadari sejak tadi kami berada di sini, tak ada tanda kehidupan. Maksudku, tak ada kendaraaan, suara manusia. Lalu aku mulai menyadari bahwa railing yang kusentuh mentransfer debu di tangan.
"Ah, ya. Kayaknya kamu salah paham. Yuk, aku bawa kamu ke sana." Andi mengajak naik ke lantai tiga dan berhenti di tengah tangga.
"Ini keluargaku." Andi berucap seraya menunjuk dua pigura menempel di dinding, membingkai foto wanita dengan sanggul dan kebaya merah dan laki-laki serta jas hitam. Biar ketebak, itu seperti foto pernikahan tahun 90-han. "Mereka sudah nggak ada."
"Maksudnya?"
"Mereka meninggal saat aku Sekolah Dasar," jawabnya, seakan tanpa beban.
"Aku yatim piatu. Jadi, ya ... inilah. Maaf, kamu cuma bisa kenalan dengan mereka lewat foto."
Jadi, ini yang ia katakan sebagai perkenalan? Aku beruntung, dilahirkan sebagai perempuan yang memiliki ingatan baik. Tentu aku tak akan lupa bahwa sepanjang perbincangan kami selama saling mengenal, Andi menceritakan konfliknya dengan keluarga. Ia tak pernah menyinggung bahwa ayah ibunya sudah tiada. Bahkan, ia kabur saat berusia sekitar tujuh belas tahun. Kenapa cerita Andi mulai tidak sinkron?
Kami turun kembali ke lantai dasar. Suara petir menggelegar menambah atmosfer menegangkan di tempat yang kurasa sudah lama kosong ini. Sesekali aku melirik jam dinding tua itu, berharap ada secuil kenangan yang bisa kuingat.
"Ini bulan apa?" tanyaku.
"Mei." Andi meraih bahuku lalu, mengarahkan langkah kami ke area meja makan.
"Bukan musim penghujan seharusnya," gumamku.
"Sekarang hujan dan kemarau udah nggak bisa diprediksi. Terakhir hujan bulan Maret. Kalau tahun 90-an, hujan bakal turun di bulan yang belakangnya ada 'ber'. Sekarang belum sampai bulan itu, hujan udah turun aja."
Aku benci kondisi ini. Kemarau tiba-tiba diguyur hujan, lalu petrikor hadir. Aku benci rasa tak nyaman itu datang secara mendadak. Aku mendesah kesal.
"Mau minum?"
Kulihat baik-baik botol di tangan Andi.
"Hanya soda," Jawabnya meyakinkan.
Kuterima botol kaca berwarna hijau di tangan Andi. Kuanggukan kepala, setelah yakin bahwa minuman itu hanya soda biasa.
"Kamu kayaknya emang nggak bisa hidup sehat." Aku lantas meminumnya.
"Yang bikin mati cepat itu bukan rokok atau soda, sayangku. Tapi, stres. Aku menikmati ini. Jadi, aku jamin hidupku panjang. Jangan takut jadi janda muda." Andi mengerlingkan mata.
Aku memutar mata dengan malas. Tiba-tiba saja Andi membuka baju. Kalau cuaca panas, aku masih bisa mengerti. Di luar sedang hujan. Andi menghampiri, lalu duduk di sampingku. Tangannya bergerak, meraba bibirku sensual. Aku terkesip. Belum sempat memundurkan langkah, Andi mendorongko ke meja, menyusupkan tangan ke balik rok kerja yang aku kenakan. Sial! Jarinya masuk membuat, tapi sayangnya tidak bisa membuatku basah. Kian intens sentuhan yang dia berikan semakin membeku aku dibuatnya.
Teriak Nara! Alam bawah sadarku berusaha mendobrak.
Belum sempat aku berteriak meminta tolong dari perdayaan lelaki bajingan ini, aku sudah tak sadarkan diri.
Minuman apa yang dia berikan padaku?

KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
Tajemnica / ThrillerSetelah kematian Ayah, petrikor menjadi aroma yang kubenci. Bagiku, aroma tersebut seperti kutukan yang selalu menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta. Seperti saat ini, setelah malam kemarin ia bertandang, esok harinya aku disuguhkan oleh jasad...