Bab 4

62 11 1
                                    

"Mbak Nara harus tahu!"

"Iya. Bilang! Bilang sama Mbak kamu! Sekalian juga, bilang sama keluarga Hadiwijaya biar semuanya berantakan."

"Ibu pikir, dunia kami selamanya ada di tangan Ibu? Aku dan Mbak Nara juga berhak bahagia!"

"Kamu! Kamu, Sekar! Bukan Nara!"
Telunjuk Ibu menekan dada Sekar.

"Kamu pikir Ibu nggak tahu apa yang terjadi sama kamu? Kamu pikir Ibu nggak tahu apa yang sedang kamu pikirkan? Kamu nggak peduli sama kakakmu. Kamu cuma peduli sama diri sendiri. Jangan kamu pikir selama ini Ibu tutup mata. Ibu tahu, Sekar. Ibu tahu! Jangan main-main sama Ibu!"

"Bagus! Kalau Ibu tahu segila apa aku, artinya Ibu juga tahu kalau aku bisa sama gilanya kayak Ibu."

Sekar menurunkan telunjuk Ibu. "Sekar bakal ceritain sentang se-"

"Silakan beri tahu Nara. Tapi, coba kamu pikir, siapa yang mau membiayai kuliahmu nanti, hah? Kamu pikir ayahmu ngasih harta buat Ibu? Seujung kuku pun nggak ada yang ditinggalkan ayah kamu buat kita. Sial! Kenapa juga dia harus mati sebelum bapaknya," umpat Ibu.

Perbincangan yang tak sengaja kudengar itu tidak memberi banyak informasi. Ponsel Ibu kadung berdering hingga memutuskan obrolan dua manusia yang saling mengencangkan urat leher. Sampai akhir perbincangan, mereka tak menyadari kehadiranku.


Selama duduk di trotoar sejak sepuluh menit lalu, otak diliputi banyak pertanyaan. Sebenarnya, apa yang mereka rahasiakan dariku? Dan ucapan Sekar yang mengatakan akan menceritakan tentang se ...?

"Se" di sini apa? Andai kata itu tak segera Ibu potong, setidaknya aku bisa dapat sedikit jawaban.

Dering ponsel berbunyi menginterupsi kerumitan pikiranku. Terpampang nama Ibu di ponsel negeri tirai bambu milikku.

[Ra, belum pulang?]

Pesan telanjur kubuka. Mau tak mau harus segera dibalas kalau tidak ingin sumpah serapah dari si pengirim pesan menghiasi gawaiku. Siapa pun mungkin tak akan percaya. Wanita yang seharusnya menaburkan kata-kata sesejuk udara firdaus malah bisa melontarkan kata-kata menyakitkan jiwa.

[Belum, Bu. Nara ada urusan dulu di rumah temen.]

[Oke. Ibu transfer uang. Mampir ke butik besok. Pilih baju terbaik. Kakekmu mau ketemu kita dua minggu lagi. Ibu ada urusan ke Bandung.]

Mengingat Hadiwijaya, mendadak tanganku dingin sekali. Darah seakan tak mengalir lancar di seluruh pembuluh. Enggan melanjutkan perbincangan terkutuk ini, segera aku tekan tombol off. Namun, belum sempat menyentuh ikon mati pada layar, pesan baru masuk terlebih dahulu.

[Mbak di mana?]

Aku tak berniat membalas.

[Mbak?]

[Mbak, jaga diri. Cepet pulang. Aku kangen]

Rasa mual mendominasi dibanding lemas yang datang lebih dulu. Apakah normal seorang adik bersikap seperti ini? Mungkin untuk mereka yang memiliki bonding baik, bukan hal aneh. Namun, bagiku? Aku cenderung menghindari Sekar selama ini.

Bicara tentang penyimpangan Sekar, aku tak mengerti, atas dasar apa kaum terlarang itu menyandarkan pikiran? Maksudku, mereka mendekati penyakit, sanksi sosial, dan banyak hal yang sebenarnya merugikan diri sendiri. Aku termasuk salah satu manusia yang menolak keras perbuatan menyimpang itu. Pernah mencoba untuk memahami dari segala arah, tetapi logikaku tak pernah menemukan persetujuan. Bagiku, berbicara tentang hak dan kemanusiaan itu artinya sedang bicara mengenai fitrah saat manusia dilahirkan.

Lagi pun, bukankah sperma itu harusnya bertemu dengan ovum alih-alih dengan lubang tinja? Mani bertemu dengan sesamanya, jelas tidak akan menghasilkan apa pun. Lebih dari sekadar ketidakpahamanku atas hal itu, pertanyaan penting kini muncul di pikiran.

Apakah aku wanita yang Sekar sukai?


SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang