Aku lupa mengatakan bahwa selain petrikor, Ibu dan adikku juga masuk dalam daftar yang tidak aku sukai. Ibu sering memaksakan kehendak pada anak-anaknya. Dan Sekar, gadis berusia tujuh belas tahun itu sering
menghalangi langkahku untuk keluar dari aneka ranjau yang Ibu ciptakan. Misalnya, ketika suatu hari aku berniat kabur saat menerima tawaran kerja di luar pulau.Sekar membuat rencanaku berantakan. Aku masih ingat, pagi itu ia yang seharusnya pergi sekolah malah mendatangiku yang sudah bersiap mengangkat koper.
"Mbak mau pergi?"
"Iya. Kamu baik-baik di sini ya sama Ibu. Nanti tiap bulan Mbak transfer."
Sekar tak menjawab. Namun aku bisa melihat terpupuk kemarahan, juga kesedihan di mata Sekar.
Hari itu aku tak punya waktu meladeni Sekar. Biarlah, jika memang terluka, toh luka itu akan sembuh dengan seiringnya waktu. Meski sampai sekarang aku masih menerka kesedihan macam apa dan bagian mana yang Sekar rasakan. Aku memilih melangkah keluar rumah.
Ketika hendak melewatinya, sesuatu yang tidak aku antisipasi terjadi. Sekar mengeluarkan pisau dari saku baju, lalu mengarahkannya, tepat ke bagian leher. Aku terperangah. Kontan tubuhku kaku sekatika. Anak itu berulah lagi!
"Kalau Mbak pergi, aku bakal bunuh diri." Ia melontarkan ultimatum. Sekar memang sering menjadi parasit dalam semua rencanaku, akan tetapi baru kali ini dia senekat ini.
Sama sepertiku, Sekar juga korban ketidakbijaksanaan Ibu. Saat Sekar beranjak remaja banyak luka yang Ibu toreh pada gadis itu. Maksudku, bukan sekedar luka batin. Serius, Sekar memang memiliki banyak luka di pahanya. Terakhir Ibu mengukir karya seninya di paha Sekar dengan sutil panas. Sutil yang Ibu pakai untuk menggoreng kerupuk hari itu.
Meski begitu. Meski kami sama terlukanya, bukan berarti kami harus terus kuncup bersama, bukan? Aku ingin berkembang, ingin bertumbuh!
Sekar benar-benar melakukan hal itu berkali-kali, membuat langkahku kian terpasak.Ketika ego sedang naik, terkadang aku ingin menantang ia memutuskan urat nadi. Satu hal yang perlu ia lakukan. Matilah, tanpa perlu menjadikan aku terdakwa! Sayangnya sekarang pikiran itu lolos juga di tenggorokan.
"Kamu mau mati? Mati aja! Mbak nggak peduli lagi!"
Sekar tertawa, lalu menjawab lantang.
"Nggak gitu, dong, konsepnya. Mana bisa aku mati sia-sia. Kalaupun harus mati, bakal ada satu tulisan yang aku sebarkan bahwa Mbak yang udah ngebunuh aku."
Sejak itu, aku berhenti berdebat dengan orang sinting!
Sekarang kemarahan yang sama seperti saat ia memainkan pisau di leher hari itu, kembali aku lihat. Tanpa sepatah kata, Sekar bangkit, lalu meninggalkan meja makan begitu saja. Ia menyusul Ibu. Mungkin kembali mengambil pisau atau benda lebih tajam dari itu untuk ditunjukkan ke Ibu. Jika iya, kali ini aku dukung dia.
Satu jam berlalu, kukira akan ada teriakan Ibu dari kamarnya. Sudah kupasang daun telinga baik-baik, tak ada teriakan, tak ada suara erangan. Gadis itu justru datang ke kamarku, lebih tepatnya membuka ... Ah ralat! Lebih tepatnya lagi setengah mendobrak. Sial! Kulirik sekilas ke kedua paha Sekar, mencari tahu apakah ada yang menyembul di balik sakunya.
"Aku nggak bawa apa-apa, kok." Sekar melangkah masuk. Itulah keahlian Sekar. Ia teramat peka. "Mbak nggak nolak permintaan Ibu?" Sekar masuk melewati daun pintu bertuliskan 'Sedang sibuk jangan ganggu'.
"Emang bisa?" tanyaku, seperti orang naif.
Sekar terlihat menarik napas sejenak.
Kini ia berdiri telat di sampingku."Kalau Mbak nggak suka, ya tolak aja. Jangan kaya aku, Mbak. Aku nggak bisa nolak pinta Ibu sekalipun aku nggak suka. Eh,tapi semenjak ada dia, sekarang aku udah berani nolak si."
Dia?
"Biar Mbak pikirkan nanti," jawabku singkat.
Sepertinya ucapanku cukup berpengaruh pada raut wajah Sekar yang secara tiba-tiba berubah muram. Aku tak mengerti, kenapa ia begitu protektif kepadaku. Pernah kubaca artikel tentang sister complex, kondisi di mana saudara akan protektif dalam banyak hal. Sejauh ini, aku menganggap Sekar mengalami hal itu.
"Ah, ya. Sekar mau cerita, Mbak."
Cerita? Ia terlalu percaya diri kalau aku akan menjadi pendengar yang baik.
"Sekar punya teman dekat."
Sebenarnya aku tak berminat mendengar apa pun yang ia ceritakan. Namun, kali ini aku memilih untuk fokus mendengar ocehannya. Jika memang benar, ini kabar bagus untukku. Setidaknya kekangan Sekar terhadapku akan terdistraksi oleh romansanya.
"Teman dekat?" tanyaku, sok peduli.
"Ya." Sekar mengangguk dengan mata berbinar.
"Errr, sebenarnya dia spesial," tuturnya lagi. Aku menunggu kelanjutan cerita.
"Emmm ...." Sekar tersenyum malu.
"Awalnya, Sekar nggak mau kasih tahu. Tapi, kayaknya Mbak perlu tahu, deh."
Ibu tak mengizinkan anak-anaknya mengenal lawan jenis sampai dianggap dewasa. Jangan berpikir dewasa bagi Ibu sama dengan waktu kalian menerima SIM untuk pertama kalinya. Dewasa bagi Ibu adalah setelah anak-anaknya diboyong suami masing-masing.
Bagaimana jika Ibu sampai tahu? Akankah Sekar dikurung dua kali lipat lebih lama dari kejadian dahulu?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
Mystery / ThrillerSetelah kematian Ayah, petrikor menjadi aroma yang kubenci. Bagiku, aroma tersebut seperti kutukan yang selalu menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta. Seperti saat ini, setelah malam kemarin ia bertandang, esok harinya aku disuguhkan oleh jasad...