Aku bersikeras bahwa ada lelaki bersamaku di tempat ini. Namun, berapa kali pun aku ngotot, sebanyak itu pula Mbok Yum menyangkal.
“Mbak Nara selalu sendiri. Ngomong sendiri. Ketawa sendiri.”
Di titik ini tubuhku terasa akan ambruk. Kepala pusing bukan main, sampai aku harus izin pulang lebih awal karena mualnya begitu menyiksa. Jadi, alasan semua orang memperhatikan selama ini bukan karena perdebatan kami melainkan aku melakukan hal aneh? Demi Tuhan! Aku normal! Waras! Hanya sedang sial karena bertemu dengan hantu bernama Sam.
Setiba di kontrakan, pemaparan Mbok Yum terus saja terngiang di kepala. Tak mungkin aku berhalusinasi. Sam benar adanya. Sam nyata. Lelaki itu manusia sungguhan. Manusia yang memang Hadiwijaya perintahkan. Atau jangan-jangan, justru Mbok Yum salah satu manusia bayaran Hadiwijaya untuk mengecohkan semuanya. Astaga! Kenapa aku jadi menuduh semua orang di sekeliling adalah impostor?
Meski pikiran semrawut, aku tetap memenuhi pinta Sekar menemui Ibu. Katanya ada sesuatu yang gawat. Walau setengah durhaka, bukan berarti aku abai terhadap tanggung jawab pada wanita yang sudah bersedia membuka kedua pahanya untukku dua puluh lima tahun lalu.
Kehidupan Ibu kini jauh berbeda. Pengharapannya untuk tinggal di istana berubah menjadi kehidupan dalam sebuah penjara. Lapangan dikelilingi terali panjang membuat Ibu terlihat jauh lebih menyedihkan. Semua orang di sana mengikuti instruksi pemimpin senam. Ada yang berjoget tak tentu arah, ada yang mengikuti dengan gerak sedikit mirip, ada pula yang hanya diam, mematung dengan pandangan kosong. Yang terakhir itu ibuku.
Aku melihatnya dari balik jeruji. Kupandangi wajah Ibu. Ia wanita yang dahulu sering mengabaikanku. Kenapa aku tak bisa membenci, tetapi juga tak bisa mencintai begitu dalam? Ada perasaan asing yang tak bisa aku jabarkan.
“Mbak.” Sekar menepuk punggungku.
“Ibu ngamuk. Tadi hampir nusuk salah satu pasien di sini.”
“Kok, bisa?”
“Sekar nggak tahu, Mbak. Kami juga nggak tahu Ibu dapat pisau dari mana. Sekar baru datang, tahu-tahu sudah ramai di lapangan.”
“Terus, gimana?”
“Masalah itu udah aman. Ada yang lebih gawat,” ucap Sekar.
“Masalah apa?”
“Tagihan Ibu di RSJ ini sudah harus dibayarkan.”
Aku baru ingat kalau kami tidak memiliki asuransi kesehatan. Di pekerjaan juga. Perusahaan hanya mendaftarkan kartu ketenagakerjaan. Minus jaminan kesehatan.
“Tadi Sekar sempat minta keringanan. Minta Ibu dipulangkan juga. Nanti tagihan makin membengkak kalau Ibu tetap di sini, sedangkan kondisi keuangan kita udah sekarat, Mbak. Tapi, pihak rumah sakit menolak. Alasannya, Ibu sudah ada di tahap membahayakan diri sendiri.”
Aku mengerti, kenapa pihak rumah sakit meminta Ibu tetap tinggal di sini. Penanganan mental masih awam di masyarakat. Pemikiran bahwa orang sakit jiwa atau ODGJ harus dijauhi akan membuat kondisi Ibu makin parah. Belum lagi banyak kasus di luar sana yang memasung anggota keluarganya karena dianggap membahayakan. Barangkali itulah alasan terkuat pelarangan tersebut.
“Ibu tetap di sini. Ke depannya kita urus asuransi.”
“Terus, sekarang bagaimana?” tanya Sekar. “Biayanya cukup besar.”
“Selama ini kamu bayar pakai apa, Dek? Kan, uang dari Mbak cukup buat kalian makan saja.”
Sekar menggigit bibir. Ada gelisah yang tergambar di wajahnya. “Ibu punya tabungan, Mbak. Ibu punya emas yang dia simpan di kamar. Sekar pakai itu sebagian. Masih ada sebagian lagi.”
“Kita pake itu dulu.”
“Tapi, kalau Ibu sehat nanti, Sekar takut Ibu bakal balik sakit kalau tahu emasnya habis."
Aku tertegun. Sekar benar, tetapi tak ada pilihan lain. "Mbak akan ganti emas Ibu nanti. Sekarang yang penting Ibu dulu. Jangan mikir yang lain."
Aku bergegas pulang. Tak menunggu lagi, segera aku masuk ke kamar Ibu, mencari simpanan yang Sekar bilang. Di dalam lemari, ada sebuah kotak yang kurasa tempat penyimpanan perhiasan. Namun, yang mengusik penasaranku adalah map di bawah tumpukan baju Ibu. Map dengan cap rumah sakit. Rasa penasaran bagai magnet yang tak bisa aku hindari. Kubuka map itu. Begitu aku baca, tubuh lemas seketika.
Ternyata ....
.
.
.
.
![](https://img.wattpad.com/cover/327457277-288-k147304.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
Детектив / ТриллерSetelah kematian Ayah, petrikor menjadi aroma yang kubenci. Bagiku, aroma tersebut seperti kutukan yang selalu menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta. Seperti saat ini, setelah malam kemarin ia bertandang, esok harinya aku disuguhkan oleh jasad...