Kedua kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini. Kemarin aku masuk lewat pintu utama, sekarang melalui pintu rahasia. Pintu yang Ayah buat diam-diam. Ayahku memang jenius. Sayang, Hadiwijaya tidak pernah melihat itu. Baginya, daripada menjadi ahli teknik sipil seperti impian Ayah, menjadi pebisnis adalah takdir yang tak bisa Ayah bantah. Alhasil, Ayah melepaskan keinginannya.
Ayah bilang, tak boleh ada yang tahu soal pintu ini selain kami. Berkat pintu ini juga, sesekali kami terbebas dari predikat sebagai tawanan Hadiwijaya.
Belasan tahun lamanya tangan ini tidak membuka pintu rahasia yang membawaku pada lorong bawah tanah, kemudian masuk ke salah satu gudang di rumah Hadiwijaya. Akhirnya, aku bisa merasakan kembali pengapnya debu yang menempel di ruangan itu. Perlahan, berusaha tak mengeluarkan suara, aku melangkah keluar dari dalam gudang. Beberapa kali hampir kepergok pelayan. Untung sejak kecil aku sudah jago melakukan petak umpet macam ini.Singkat cerita, aku selamat sampai tujuan. Kubuka pintu kamar Hadiwijaya. Sekarang tepat pukul sembilan pagi. Bisa kupastikan, di jam ini Hadiwijaya sudah berada di kantor. Kesempatan ini tak aku sia-siakan. Aku segera menggeledah apa saja yang bisa memberi jawaban tentang siapa Andi dan apa hubungannya dengan Hadiwijaya. Sialnya, aku tak menemukan apa pun.
Pencarianku tak berhenti. Aku bergegas ke ruangan kerja Hadiwijaya. Harusnya lelaki tua bangka itu menyimpan berkas-berkas berharga di sana. Kembali berderap perlahan, akhirnya aku sampai di ruang kerja. Aku segera menggeledah berkas-berkas secepat mungkin, sampai menemukan satu file. Tanganku terhenti sejenak. File itu bertuliskan ‘Daftar Pekerja Sementara’.
Aku membuka satu per satu dari banyak halaman di dalamnya.Beruntungnya aku, nama Andi ada di sana. Kubaca dengan saksama. File itu berisi data-data Andi serta tugasnya. Rahangku mengetat kala mengetahui lelaki itu ternyata suruhan Hadiwijaya untuk membuat perjodohan batal. Jika memang tak menginginkan perjodohan ini, kenapa ia melakukan perjanjian itu?
Suara derit pintu membuatku terkejut. File di tangan terjatuh ke lantai. Seseorang masuk, lalu mata kami saling menatap, penuh rasa ... benci.
“Pantas saja ruanganku bau. Ternyata ada orang miskin di sini.” Hadiwijaya memang memiliki mulut berbisa.
“Anda sudah keterlaluan memperlakukan kami!” Aku berjalan ke arah lelaki itu berdiri. Tak lagi ada wajah menunduk seperti dulu. “Kalau memang tidak mau perjodohan ini terjadi, kenapa harus Anda setujui?”
“Karena saya ingin melihat ibumu merangkak kemari, seperti kucing kelaparan. Dengan liur di mulutnya, meminta makanan di rumah ini.”Alisku berkerut. “Sungguh? Bahkan, setelah kami keluar dari rumah ini, Anda masih ingin merendahkan kami?”
Hadiwijaya tertawa renyah. “Bukan saya yang membuka kandang untuk memasukkan kucing liar itu. Bukan! Dia sendiri yang datang ke sini dan memohon. Saya suka permainan. Jadi, ketika seseorang datang, kenapa saya tidak bisa membuat permainan?”
Tanganku mengepal kuat. Kutarik kerah si tua bangka. Kutatap matanya, penuh angkara murka. Ternyata begitu permainan Hadiwijaya. Ia menarik ulur, sesuai apa yang dirinya mau. Ia memberi kesenangan semu kepada Ibu melalui perjodohan yang ternyata hanya bualan. Ia juga sok memberikan mobil, hanya untuk melihat Ibu sesak napas saat dirinya menarik kembali mobil itu. Di belakang kami, ia membuat siasat demikian rupa demi meruntuhkan kebahagiaan Ibu.
“Sialan!”
“Kamu tahu, kenapa saya mempermainkan kalian? Tidak mungkin saya memasukkan darah miskin untuk kedua kalinya ke rumah ini. Selain itu, saya tidak mungkin menikahkan kerabat dengan seorang pembunuh,” tutur Hadiwijaya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
Mystery / ThrillerSetelah kematian Ayah, petrikor menjadi aroma yang kubenci. Bagiku, aroma tersebut seperti kutukan yang selalu menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta. Seperti saat ini, setelah malam kemarin ia bertandang, esok harinya aku disuguhkan oleh jasad...