Bab 24

37 6 0
                                    

Seperti puzzle, satu per satu misteri permainan ini berhasil aku sambung. Merujuk pada saat Andi mendekatiku, rasanya ada yang melakukan hal yang sama saat ini. Ya! Aku yakin seratus persen, Sam merupakan salah satu pesuruh Hadiwijaya. Kelihaiannya mengenal diriku, bukan hal menakjubkan. Aku rasa, Hadiwijaya sudah memberi setumpuk catatan tentangku.

Cara Sam mendekatiku secara intens, sama persis seperti yang Andi lakukan. Pengakuan Sam tentang dirinya yang pembunuh lelaki predator dengan memotong alat kelamin, lagi-lagi menjadi jawaban bahwa ialah pembunuh yang dibayar Hadiwijaya.
Aku marah. Dua lelaki suruhan Hadiwijaya benar-benar mempermainkanku. Kucoba menghubungi manusia bercodet itu, tetapi nomor yang ia berikan ternyata palsu. Nomor itu tak pernah berhasil aku hubungi. Bedebah!

Kuambil buku penuh coretan yang menampilkan beberapa tersangka pembunuhan Andi menurut versiku sendiri. Pertama, aku mencurigai Ibu. Ibu begitu memuja materi. Bahkan, sekarang kewarasannya terguncang karena hal duniawi yang gagal ia rengkuh. Kurasa, tak salah jika menempatkan Ibu di deretan nomor satu sebagai orang yang aku curigai. Ibu bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan yang ia inginkan, termasuk membunuh Andi. Setelah membunuh Andi, jelas tak ada lagi yang menghalangi hajatnya.

Sekar masuk dalam deretan tersangka nomor dua. Adikku itu hidup cukup tertekan, sehingga seksualitasnya menyeberang. Dita yang katanya sosok agamis, baik, penyayang, kutafsirkan sebagai diriku sendiri. Atas dasar itu, aku berkesimpulan kalau Sekar termasuk orang yang tidak menghendaki aku menikah dengan lelaki mana pun. Ia cemburu. Wajar jika masuk dalam kandidat tersangka.

Dari dua orang yang aku curigai, semuanya tumbang setelah satu bukti terpapar jelas di ponsel milik Andi. Hadiwijaya-lah dalang dari semuanya, melalui Sam, si pelaku berdarah dingin tersebut. Semua praduga ini makin kuat tatkala pencarianku di internet mengenai tanda titik koma atau disebut dengan semicolon, berkenaan dengan kesehatan jiwa. Benar! Sam sakit jiwa! Tak perlu diragukan lagi. Ia memberi tanda itu untuk memberi tahu identitasnya sebagai bagian dari manusia sakit mental.

Tepat di jam makan siang, segera aku datangi pujasera. Kesigapanku menampar manusia itu sudah paripurna. Hanya saja, sampai jatah jam makan siang tersisa lima menit lagi, Sam tak juga muncul. Kusimpan amarah ini untuk esok hari.

Ketika keluar dari gapura pujasera, mataku menangkap sosok Sam sedang duduk di tempat biasa. Ia menatapku sambil tersenyum mengejek. Kalau saja tidak ingat bahwa aku masih butuh uang dari pekerjaanku, sudah tentu aku datangi lelaki itu dan menamparnya. Beruntung, jam sudah mengharuskanku kembali ke toko, hingga terbebaslah pipi Sam dari tabrakan jemariku.

Esok harinya aku mengulangi hal yang sama. Kutunggu Sam di jam makan siang. Namun, pada menit biasa ia muncul, Sam tak juga menampakkan batang hidung. Aku lelah. Lunglai aku berjalan ke salah satu kedai ayam penyet langganan.

“Bu, berapa semuanya?” tanyaku seraya merogoh saku.

“Lima belas ribu, Mbak.”

Aku mengulurkan uang, sejumlah yang ia minta. Kedai milik Mbok Yum ini berada tepat di depan meja yang biasa aku gunakan. Saat ia memasukkan uang ke kaleng bekas kue bergambar keluarga tanpa ayah, terpikir olehku untuk menanyakan sesuatu.

“Mbok, emmm ... tahu laki-laki yang selalu duduk sama Nara di sana?” Aku menunjuk meja langgananku.

“Laki-laki yang ada codet di dahinya.” Aku menambahkan, barangkali Mbok Yum lupa.

“Nggak, Mbak.” Alis Mbok Yum mengerut. Cara ia memandang, entah mengapa aku merasa ada yang janggal.

“Mbok Yum nggak lihat? Itu, lho, yang selalu makan bareng Nara.”

“Mbak Nara selalu sendirian. Nggak pernah ada siapa-siapa di sana selain Mbak Nara.”

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang