Bab 5

77 8 1
                                    

Ayah bukan satu-satunya suami Ibu. Maksudku, setelah kematian Ayah dan terusirnya kami dari istana Hadiwijaya, Ibu pernah menikah lagi. Lelaki kedua Ibu datang di awal aku bisa menghasilkan uang. Lelaki yang hari-harinya berkutat dengan papan bertempelkan angka dari stiker skotlet tersebut menikahi Ibu, sah secara agama, juga negara.

Aku tak mempermasalahkan pernikahan mereka. Namun, lambat laun kehadiran lelaki itu menjadi bumerang bagiku. Pertengkaran demi pertengkaran antara Ibu dengan lelaki itu setiap hari hampir membuatku gila. Rasa muak makin menjadi setiap kali lelaki itu meminta Ibu untuk menyuruhku memberinya modal jika uang sebagai bandar judi habis.

Memang tidak banyak. Hanya seratus atau dua ratus ribu. Akan tetapi, rasa tak sudi mengeluarkan uang untuk usaha haram membuatku ingin mencabik-cabik tubuh penuh tato tersebut.

Syukurlah, Ibu berhasil menendang bokong lelaki itu, tepat satu tahun pernikahan mereka. Mungkin Ibu bosan selalu menerima uang tidak lebih dari lima puluh ribu setiap hari, bahkan kadang tak sepeser pun kalau lapak sedang sial, diterjang pemain ulung.
Aku pikir, dengan perginya lelaki itu, aku tak perlu lagi takut dikutuk seperti Malin Kundang. Ditambah setelah perceraian mereka, Ibu sukses mengepakkan sayap usaha, berjualan baju. Ternyata aku salah besar kalau berpikir perceraian Ibu akan membawa kemerdekaan untukku. Faktanya, perjodohan yang dibuat olehnya dan Hadiwijaya jadi bukti bahwa aku masih dibui.

Perintah Ibu membeli gaun terbaik membuatku mengerti bahwa pakaian yang aku jinjing sekarang ini adalah tiket awal mendapatkan kerangkeng di istana Hadiwijaya. Apa aku kabur saja supaya Ibu tak mendapatkan apa yang ia inginkan? Bukan anak kecil saja yang harus belajar kecewa. Ibu juga seharusnya belajar bahwa dunia tidak selalu menyuguhkan yang ia mau.

“Jangan berani kabur, Nara! Kamu tahu, kan, siapa kakekmu itu? Dia bisa aja memenggal kepala Ibu kalau nggak menepati janji.”

Ah ya, aku tahu. Lelaki bajingan itu pernah memerintahkan anak buahnya untuk membuang salah satu jasad yang ada di salah satu ruangan di rumahnya. Jasad yang ia kubur dengan garam, entah apa maksudnya. Sedangkan kami? Ya semua manusia yang ada di sana hanya bisa mengunci mulut rapat-rapat. Atau... Dor! Salah satu peluru di pistol kesayangannya menyasar di kening kami.

Begitulah gelap kehidupan  Hadiwijaya. Senapan laras panjang, teriakan, perintah, uang berpeti-peti bagaikan bercandaan untuk si tua bangka itu. Tak boleh ada saingan di kehidupannya, terutama dalam hal bisnis.

Saat itu Nara kecil tak banyak mengerti selain hanya menonton di balik pintu segerombolan orang mengangkat seongkok tubuh tak berdaya.

"Jangan bicara apa pun tentang ini!" Ibu menutup pintu, membuatku mudur ke belakang. "Mengerti!" perintahnya. Hingga akhirnya di usiaku yang mulai bertumbuh, barulah kumengerti berapa mengerikannya atmosfer kehidupan kami di rumah itu.

Bahuku melorot, mengingat ultimatum itu. Aku membayangkan diriku sebungkus heroin yang harus Ibu antarkan kepada sang mafia. Juga memikirkan menjadi seseorang yang berlari di tengah jalan lalu puluhan peluru menyasar betis dan kepalaku. Aku tak punya pilihan, selain memilih menjadi bahan bercandaan Hadiwijaya dan Ibu. Menyedihkan, bukan?

Ah, atau aku ... bunuh diri saja? Setidaknya kalau mati, semua indra di tubuh ini tak lagi menyampaikan yang terjadi pada Ibu atau Sekar setelahnya. Aku juga tak perlu bertemu Hadiwijaya, wajah yang selalu kubayangkan suatu hari penuh dengan ludahku.

“Maaf,” ucapku ketika tak sengaja menubruk seseorang yang baru keluar dari gerbong kereta. Bersamaan dengan itu, lamunanku buyar. Kalau saja tak terjadi acara tabrakan, mungkin kakiku sudah masuk ke celah peron dan niat bunuh diri tadi berubah menjadi kematian alami. Harusnya seperti itu, akan tetapi Malaikat Izrail nampaknya tak ingin aku lagi dulu.

Lelaki di hadapanku mengembangkan senyum, mirip Jack, man lead dalam film Titanic. Sayangnya, aku bukan Rose. Jadi, tak perlu tertarik dengan apa yang ditampilkan lelaki itu. Kubalas senyum sekenanya, lalu bergegas mengayun kembali langkah ke gerbong kereta lanjutan. Kulihat lelaki itu memasuki kereta yang sama dengan gerbong berbeda.

Sampai di rumah, aku segera masuk ke kamar, menguncinya karena tak ingin siapa pun mengganggu, apalagi menambah kerumitan isi kepala. Aku membuka laci dan mata langsung berputar malas. Sekar terlalu menganggap kami sedekat itu. Padahal, ia seharusnya sadar kalau perbincangan kami tidak pernah lebih dari seribu kata, hingga ia begitu berani masuk ke kamar saat tak ada penghuninya.

Gelang yang dua hari lalu ia ceritakan ada di sana. Jadi, aku bisa tahu bahwa anak itu masuk ke kamarku. Ia sengaja meninggalkan gelang ini agar ada alasan untuk membuka perbincangan di antara kami? Bulu kudukku mendadak berdiri.








SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang