Sebagai manusia beradab, sudah tentu kuputuskan untuk kembali menemui lelaki itu, satu hari setelah drama penyiraman. Sekar memang sangat keterlaluan. Ia seperti orang kesurupan ketika melihat orang yang menemukan dompetku itu masuk ke rumah kami.Lelaki itu mengulurkan tangan, memperkenalkan diri dengan nama Andi. Aku menerima uluran tangannya seraya meminta maaf atas nama Sekar. Lelaki itu tak mempermasalahkan. Ia hanya berkata bahwa Sekar sepertinya sedang tidak baik-baik saja.
Tak banyak yang kami bicarakan hari ini. Lebih tepatnya, tak banyak yang aku tanyakan tentang Andi. Sebaliknya, ia banyak bercerita, salah satunya tentang Stasiun Tanah Abang yang padat, tempat kemarin kami bertemu. Sebagai orang yang transit di stasiun itu, ia kerap merasa tidak nyaman. Bagian peron yang menggembung membuatnya beberapa kali tersandung, efek memburu waktu. Selain stasiun yang mengingatkan aku kepada Ayah, seperti biasa ... aku tak berminat mendengarkan banyak hal.
“Kalau kamu, gimana?” Beberapa kali Andi mengoper pembicaraan.
Aku membuat pertanyaan Andi seperti bola pingpong yang selalu kutangkis dengan jawaban singkat. Aku tak berenergi untuk membicarakan kehidupanku. Selain tak ada yang menarik, memberi tahu bahwa gadis di hadapannya adalah mantan orang kaya yang terusir, tentu akan membuat Andi mencap diriku sebagai pembual.
Hari berikutnya, Andi kembali mendatangiku ke toko. Katanya, pertemuan kami tak disengaja. Dia sedang berbelanja dan masuk ke toko tempat aku bekerja. Ia bertutur bahwa Tuhan sepertinya sengaja mempertemukan kami. Kami berbasa-basi sebentar, lalu ia pulang sambil menenteng kaus belanjaan, setelah kepala toko memelototiku dari meja kasir.
Hari keempat, ia kembali menghubungi. Katanya, yang sudah dipertemukan Tuhan tak boleh dilepaskan oleh manusia. Bualan tak berbobot itu sama sekali tidak membuat sudut bibirku mengembang. Ia memaksa dan akhirnya kuberi kesempatan terakhir, bertemu di salah satu tempat makan.
Andi lebih cerewet dari lelaki pada umumnya. Hari itu ia berbicara lebih banyak lagi. Ia menceritakan kehidupannya, pekerjaan sebagai fotografer, juga tentang keluarga. Bagian terakhir cerita Andi, kupasang telinga lebar-lebar.“Aku membenci orang tuaku,” katanya seraya memantik rokok.
Aku membenarkan duduk, merasa tidak nyaman karena orang yang baru kukenal bisa dengan mudah membuka drama keluarga. Namun, aku tetap tertarik pada alasan ia membenci orang tuanya.
“Mereka selalu mengatakan, harus menghormati orang tua, tapi lupa untuk menghargai perasaan anak,” tambahnya.
“Ya, aku tahu. Dongeng anak durhaka lebih santer dibanding cerita orang tua celaka,” jawabku seraya mengunyah dimsum kesukaanku.
"Kamu tahu? Ayahku pernah tidur dengan wanita yang bukan ibuku. Di kamar kami."
"Bagaimana?" Aku hampir tersedak.
"Ayahku bukan duda. Dia lelaki sukses yang beristrikan wanita sukses. Ibuku seorang dokter umum yang bekerja di bagian unit gawat darurat. Kamu paham kan, gimana sibuknya ibuku? Kerap kali Ayah ditinggalkan. Dan ketika itu terjadi, dan setelah aku dewasa aku baru mengerti kenapa dulu dia berzinah di rumah kami."
"Saat itu usiaku baru tujuh tahun. Ya... Kurasa usia segitu. Aku nggak begitu yakin sebenernya," lanjut Andi. "Dari situ aku jadi anak yang pembangkang. Saat SMA aku ikut kelompok tawuran. Terkena sajam bukan hal aneh. Bahkan ada teman kami yang meninggal. Sejak berita tragedi itu dimuat, Ayah dan Ibu tau. Tapi yang mereka nggak tahu bahwa aku begini karena mereka. Dan sialnya mulutku masih saja bungkam tentang perselingkuhan itu. Meski sepertinya ibuku tau tentang perselingkuhan itu. Kebungkananku membuat aku nggak punya pembelaan apapun sehingga dicap sebagai anak berandalan."
Andi menjeda. Ia menyeruput es kopinya. "Saat aku kuliah, aku nggak lulus-lulus. Orang tuaku makin murka dan angkat tangan. Uang sakuku ditebasnya semua. Dan di titik itu aku makin sadar apa yang harus aku lakukan. Nara, anak-anak yang tersakiti harus melakukan sebuah dobrakan!” Orasi Andi memang menantang norma.
“Seperti?”
“Melawan. Berani meninggalkan rumah. Tunjukan bahwa kita bukan benda tak berperasaan. Orang tuaku menganggap aku nggak bisa apa-apa. Akhirnya aku buktikan. Aku keluar rumah. Sekarang di sini lah aku. Tidak kaya raya, tapi aku bahagia menjalani hidupku. Lebih penting dari itu, aku nggak perlu lagi terlihat drama romansa mereka yang nggak kelar-kelar itu.”
Aku tersenyum tipis. Bisa jadi Andi benar. Sayangnya, tak semua anak bisa mengambil tindakan demikian. Tidak semua orang tua membiarkan anak yang mereka lahirkan pergi dari kandang kesengsaraan dengan mudahnya. Aku salah satu anak tak beruntung itu.
Andi pintar menghidupkan situasi. Ia seperti punya kemampuan mengorek sesuatu yang setengah mati aku tutup. Layaknya tersihir, mulut ini ikut meracau drama keluarga. Secara tak sadar, aku mengungkapkan semua: tentang Ibu materialistis, tentang Sekar yang kurasa butuh pergi ke psikiater, tentang kenangan indah bersama Ayah, juga tentang perjodohan oleh Hadiwijaya, minus kejadian saat usiaku sepuluh tahun. Siapa yang tahu jika ternyata kecerobohan mulut ini pada akhirnya aku sesali di kemudian hari.

KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
Misteri / ThrillerSetelah kematian Ayah, petrikor menjadi aroma yang kubenci. Bagiku, aroma tersebut seperti kutukan yang selalu menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta. Seperti saat ini, setelah malam kemarin ia bertandang, esok harinya aku disuguhkan oleh jasad...