Setelah kematian Ayah, petrikor menjadi aroma yang kubenci. Bagiku, aroma tersebut seperti kutukan yang selalu menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta. Seperti saat ini, setelah malam kemarin ia bertandang, esok harinya aku disuguhkan oleh jasad...
Semula aku tak mau ambil pusing. Aku coba menarik diri dari rasa penasaran terhadap lelaki bercodet tersebut. Namun, ia secara terang-terangan terus membombardir dengan banyak cerita di masa lalu. Selain masalah tempe, ia bahkan tahu kalau aku dan Ayah begitu menyukai kereta.
Berbagai asumsi muncul di kepala. Mulai dari Ayah yang bereinkarnasi jadi lelaki itu, hingga terpikir bahwa sebenarnya Ayah masih hidup. Semua kemungkinan itu mengumpul, tetapi tak satu pun yang berhasil divalidasi oleh logika.
Jam istirahat toko tempatku bekerja sekitar pukul dua siang. Jam itu pujasera sedang ramai-ramainya. Maklum, dua mal di sekitarnya memiliki jam istirahat yang sama. Wajar kalau kami terkadang harus bergiliran mendapatkan kursi. Aku sengaja datang tiga puluh menit lebih lambat. Selain tak Ingin terjebak antrean, menghabiskan waktu dengan membaca novel di tangga darurat mal yang akhir-akhir ini menjadi hobiku, rasanya lebih bermanfaat.
Seperti biasa, lelaki bercodet itu duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Mengenakan pakaian serba hitam, ia angkat kaki kanan ke atas kursi. Sudah sepekan ini ia tak ubahnya penguntit. Ia memberikan tatapan dan senyum yang sama setiap harinya. Satu lagi yang baru aku sadari, dia selalu datang di jam yang sama, bahkan menit yang sama. Aku mengedarkan pandangan. Sayang, tak satu pun kursi lain tersedia, sehingga mau tak mau aku harus satu meja dengan lelaki misterius ini. Melewatkan makan siang, jelas tak mungkin. Aku tidak ingin pingsan hanya karena menghindari manusia satu ini.
“Selamat datang. Pagi tadi hujan. Apa kamu baik-baik saja?”
Baru saja duduk, ia sudah memberiku beban pikiran.
“Oke,” jawabku, tak ingin basa-basi.
Lelaki itu tersenyum mengejek. “Selama masih membenci petrikor, Hadiwijaya, dan bergelung dengan kesedihan karena kematian ayahmu, hidupmu akan terus mendung, Nara.”
Aku berusaha menulikan telinga. Kuanggap suara lelaki ini hanya kaset kusut. Mendengar ia mengoceh, aku seperti didorong ke satu lorong yang di dalamnya terdapat banyak ceceran kenangan masa kecilku. Aku fokus pada ayam penyet di hadapan. Seperti biasa, nasi aku bagi menjadi beberapa bagian, lengkap dengan potongan ayam. Jumlah dan penempatannya presisi.
Entah karena terganggu dengan caraku makan atau karena mengabaikannya, si codet murka. Ia menggebrak meja, membuat piringku terbang beberapa mili ke udara. Nasi yang aku bagi dengan ukuran seadil-adilnya kembali bercampur. Kelakuan si codet membuatku malu. Puluhan pasang mata menoleh ke arahku. Rasanya ingin sekali membenamkan wajah ini ke Palung Mariana.
“Apa mau kamu?” Kali ini aku ajak ia bicara lebih serius dari sebelumnya. Seharusnya ia tahu bahwa aku sedang marah.
Bukan merasa bersalah, ia justru tertawa seraya mengumpat.
“Berhentilah jadi orang tolol!”
“Aku bukan manusia tolol!” Aku geram.
“Kamu tolol!” Ia makin menyerang, membuat nafsu makanku hilang seketika.
“Aku nggak kenal sama kamu. Jadi, dari mana kamu tahu soal aku?”
Si codet mendekat. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Kalau kamu tidak bodoh, seharusnya kamu membunuh adik dan ibumu. Membunuh semua orang yang membuatmu sengsara. Kalau kamu tidak bodoh, kamu tak akan iba pada kondisi keluargamu sekarang. Terbang saja, sesuai apa yang kamu impikan selama ini. Kalau kamu tidak tolol, kamu seharusnya menusuk Hadiwijaya hari itu. Memotong kelaminnya.”
“Si—siapa kamu?” Kurasakan tubuhku bergetar.
“Sam. Namaku ... Sam.”
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Yuhuuuu siapa nih yang mau dapat buku cetak dari GA.
Kamu cukup jawab satu pertanyaan.
Siapa yang membunuh Andi dan apa alasannya? Dan siapakah sebenarnya sosok Sam?
Jawabannya email ke nur220992@gmail.com Soalnya IG-ku lagi nonaktif hihihi. Jangan lupa sertakan nama akun Wattpad kalian dalam email. Jawaban paling lambat sampai tanggal 20 September.
Bagi yang beruntung dan palingpertama bisa menebak akan mendapatkan satu cetak buku cetak Semicolon.