Bab 11

53 11 2
                                    

Aku benci petrikor. Kebencian itu dimulai pada hari kematian Ayah. Saat itu aku menunggunya bersama boneka beruang seraya menatap percikan hujan yang baru saja membasahi pekarangan rumah setelah melewati kemarau panjang. Ayah pulang diantar ambulans, kemudian Ibu berteriak histeris. Kukira tangisan Ibu adalah tangisan kehilangan. Setelah dewasa, baru aku tahu, ada makna lain dari jatuhnya air mata Ibu hari itu.

Semenjak itu, aroma tersebut menjelma menjadi kutukan. Ia selalu hadir, menggandeng kejutan yang tak pernah aku minta di hari setelahnya. Kukira kutukan itu akan sirna ketika aku dewasa. Ternyata tidak! Hari ini aku kembali sial. Ketika membuka mata di pagi hari, bukan indra penciuman saja yang disuguhi hal yang aku benci selepas hujan tadi malam. Mataku juga tak luput dari jamuan.

Lelaki yang kutemui dua pekan lalu. Lelaki yang sama gilanya dalam menggurat masa depan. Kulihat ia terbujur kaku, telanjang, bersimbah darah dengan alat kelamin terputus. Di samping jasadnya tertulis tanda titik bagian atas dan koma di bagian bawah.

Tulisan itu diukir menggunakan darah oleh jari seseorang yang ... entah siapa.


Butuh beberapa menit untuk mengembalikan kesadaran. Otak kembali bekerja, coba merajut ingatan tentang tadi malam. Namun, tak kutemukan satu pun ceceran kolase.


Yang berhasil kuingat hanya saat jemari Andi berhasil menyusup ke pangkal pahaku. Ketika hendak menghindar, tiba-tiba saja pandanganku kosong. Setelahnya, aku tidak tahu apa-apa. Perihal kematian Andi, sumpah, bukan aku pelakunya!

Tiba-tiba aku teringat pada botol minuman yang diberikan Andi. Kucium beberapa kali botol itu. Berkali-kali mencoba, tetap saja indra penciumanku hanya menghirup aroma soda.


Tiga puluh menit berlalu, aku masih berusaha mencari jalan keluar atas masalah ini. Apa kucoba lapor polisi saja? Kisah tragis dua anak yang dijadikan tersangka pembunuhan, padahal bukan mereka pelakunya, menjadi pertimbangan. Mereka disiksa untuk mengakui sesuatu yang bukan kesalahan mereka.

Mereka putus sekolah, diberantas masa depannya, dirusak marwahnya. Meski pada akhirnya tidak terbukti, lalu dibebaskan, tetap saja tak mengembalikan apa yang sudah hilang. Negara diminta bertanggung jawab atas kerugian yang mereka alami, tetapi justru angkat tangan. Hingga seorang wartawan senior bersama kelompoknya bekerja sama dengan lembaga hukum serta lembaga sosial untuk mengadakan crowdfunding agar mereka memiliki biaya untuk lanjut sekolah.

Pertanyaannya, apakah aku akan lebih beruntung dibanding anak-anak malang itu? Bagaimana jika aku justru dijadikan tersangka, alih-alih saksi? Terlebih, tak ada siapa pun di sini selain aku.


Satu jam berlalu, aku mulai panik. Darah rasanya tak lagi mengalir dengan baik. Sekujur tubuhku dingin dan gemetar. Setiap detik yang terlewati hanya aku gunakan untuk berjalan ke sana kemari dan selalu berakhir dengan kebuntuan.

Dua jam berlalu. Konon, delapan belas jam setelah darah beroksigen berhenti mengalir, bau busuk akan mulai menguar dari jenazah. Dua jam akan makin bertambah jika aku tidak melakukan tindakan apa pun.


Detik ini aku tidak ragu bahwa kegilaan Ibu menyusup pula di jiwaku. Kucari apa yang bisa dipakai untuk membuang jasad lelaki putus kelamin itu.


.
.
.
.
.
Hayo siapa yang bunuh Andi?

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang