Bab 18

40 8 3
                                    

Aku mengapresiasi, sekaligus membenci diri sendiri secara bersamaan. Aku bahagia karena berhasil keluar dari lingkaran setan di rumah sendiri. Keributan kemarin, ucapan yang mungkin secara tak sengaja masuk ke lubuk hati Ibu, membawa pada kebebasan yang aku impikan. Ibu membiarkanku pergi, tanpa syarat.

Bagaimana dengan Sekar? Sehari sebelum kepergianku, kami bicara dari hati ke hati. Aku sadar, tak seharusnya melepas Sekar begitu saja. Sekar sama sepertiku. Ia korban. Karakter yang terbentuk di diri Sekar, aku rasa juga merupakan tanggung jawabku.

Tak kusembunyikan di mana aku tinggal. Sekar sering datang, terlebih ketika Ibu membutuhkan uang. Ia bilang usaha Ibu menurun, bahkan nyaris bangkrut. Sekarang keseharian Ibu hanya melamun. Ia seperti orang mati.

Makin hari, aku lihat Sekar makin membaik. Namun, suatu ketika ia kembali kambuh.

“Sekar kangen Dita, Mbak. Mbak bisa nggak, balikin Dita ke Sekar?” Wajah Sekar memelas seraya mengguncang tubuhku. Sejak kejadian itu, ia tidak lagi berkunjung. Aku coba menghubungi, tetapi nomornya tidak aktif. 

Di sinilah alasan aku membenci diri sendiri. Aku pikir, setelah keluar dari rumah Ibu, bendera kemerdekaan akan menjadi milikku. Rupanya, kebebasan yang aku genggam ini terlampau singkat. Setelah tahu kondisi keluarga, disusul Sekar yang tidak berkunjung lagi, fokusku jadi berantakan.

Pagi tadi aku menulis barang di nota berdiskon. Alhasil, pembeli membawa barang harga normal dengan harga diskon lima puluh persen. Aku disidang kepala toko bersama seorang kasir. Akhir cerita, gajiku tetap dipotong akhir bulan nanti. Cerita tadi hanya satu dari banyak ketidakfokusanku.

Mendadak kunyahanku berhenti. Aku memikirkan, apa yang Ibu dan Sekar makan hari ini? Apakah makanan mereka bergizi? Padahal, aku saja tak memikirkan asupan gizi untuk tubuh sendiri. Setelah keluar dari rumah Ibu, aku mengirit pengeluaran. Terlebih ketika keluarga meminta uang, lebih sering dari biasanya. Jadi, apa inti dari kepergian ini kalau ternyata isi kepalaku masih di rumah sana, masih memedulikan mereka, masih tidak memikirkan diri sendiri?

“Tolol.” Suara lelaki di sampingku terdengar.

Aku tersentak. Kukira ada hantu yang tiba-tiba muncul. Kedatangan lelaki itu mendadak, bahkan aku tidak merasakan ada getar dari kursi yang ditarik. Ia adalah orang yang aku temui di taman hari itu. Codetnya khas. Tak mungkin aku melupakannya.

“Sombong! Dirimu sendiri saja belum bahagia, kenapa harus memikirkan orang lain?”

Ia seperti bisa membaca pikiranku. Aku masih bergeming, membiarkan tangan tak sopannya mencomot makananku.

“Tempe goreng. Makanan yang paling kamu suka. Sayang, kakekmu membenci makanan orang miskin. Makanan penghantar kematian ayahmu. Bukan begitu?”

Jantungku jadi berdebar. Tangan terasa kebas. Lelaki itu mengingatkan sesuatu yang bahkan aku sendiri lupa jika tidak diingatkan. Sebelum tragedi kecelakaan Ayah, ia memberiku tiga potong tempe goreng. Ayah menyelinap ke kamar agar Hadiwijaya tidak memarahi kami karena sudah menghadirkan tempe ke rumahnya. Kata Hadiwijaya, tempe makanan orang miskin. Entah ada trauma apa sampai ia haramkan makanan tersebut.

Saat Ayah memberiku makanan itu, tak ada yang melihat. Sama sekali tak ada yang tahu, selain aku dan Ayah. Lantas, dari mana manusia satu ini tahu?



SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang