Bab 13

51 7 4
                                    

Dalam setiap kasus pembunuhan, lazimnya ada hal yang melatarbelakangi, mengapa pelaku melakukan itu. Jika harus menebak visi, misi atau dendam macam apa yang orang itu punya terhadap Andi, jelas aku angkat tangan. Namun, setelah perbincangan dengan Ibu tadi pagi, aku mulai mengaitkan keluargaku dengan kejadian yang menimpa Andi.

“Kamu tahu, Nar, kakekmu baru saja ngabari Ibu kalau mobilnya ada satu yang bakal dia hibahkan ke kita. Coba kamu bayangkan. Ini belum menikah dengan calon pilihan Hadiwijaya. Bayangin kalau perjodohan itu terjadi. Apa yang kamu minta, pasti bakal dikasih.” Senyum Ibu lebar sekali.

Sepertinya ini yang membuat amarah Ibu tak jadi meledak meski tahu anaknya tidak pulang tadi malam. Sayangnya, senyum Ibu hanya bertahan lima detik saja. Ia menarik bibir yang mengembang itu, menggantikannya dengan tatapan serupa elang mencari mangsa.

“Jadi, Nara ... jangan main-main sama perjodohan ini. Ibu nggak akan pernah rela kehilangan bongkahan berlian yang bakal Ibu dapatkan nanti! Kamu mengerti apa tugasmu, kan?”

Aku menelan ludah karena tatapan Ibu makin membuatku ketakutan.

“Gimana sama lelaki itu?”

“Dia mundur,” jawabku berbohong. Aku tak tahu harus menjawab apa.

Mengatakan ia tetap akan maju pun tak mungkin. Secara ... lelaki itu sudah tenggelam di dasar sungai. Mana bisa melanjutkan rencana.

“Mundur atau ... mati?” Saat mengatakan itu, mulut Ibu membentuk seringai. Ekspresinya seakan menunjukkan bahwa itu bukanlah pertanyaan.

Aku mundur beberapa jengkal. Sepertinya keterkejutanku tertangkap oleh Ibu.

“Benar, Nara? Dia mati?” Mata Ibu terbelalak, kemudian diikuti tawa membahana. Ibu sampai terpingkal, memegang perutnya sendiri. Sungguh bahagia, seperti mendapatkan lotre.

“Udah Ibu tebak. Huh, baguslah! Tanpa disuruh, dia melakukan tugas dengan semestinya.”

Aku membuat catatan, lebih tepatnya ... coretan semacam peta, menarik garis antara satu nama dengan nama yang lain, antara satu kejadian dengan kejadian lain. Terlalu naif untuk dikatakan kebetulan. Semua seperti kertas contekan yang datang begitu saja kepadaku guna membuka satu per satu pintu misteri yang harus aku ketahui.

Aku jadi mengaitkan perbincangan tentang ancaman Ibu akan membunuh Andi tempo hari. Selain itu, pertanyaan dan tawa aneh Ibu menambah daftar kecurigaanku. Lebih kuat dari itu semua, Ibu menyebut kata ‘dia’ yang ia bilang sudah melakukan tugas dengan semestinya. ‘Dia’ di sini ambigu, hingga menimbulkan tanya. Siapa ‘dia’ yang Ibu maksud?

Selain Ibu, Sekar tak luput dari daftar tersangka.

“Filmnya bagus, Mbak?” Sekar
menghampiri di siang hari saat aku sedang menonton film thriller psikologi.

“Tapi, endingnya tragis. Pemeran utamanya mati.”

“Siapa yang bunuh memang?”

Aku kontan melirik Sekar. “Memangnya, mati harus karena dibunuh?”

“Mbak semalam nggak pulang?” Sekar tak menjawab pertanyaanku.

“Kenapa? Kamu nyari Mbak? Tadi malam keluarkah?”

“Keluar malam? Yang ada, siap-siap digorok Ibu kalau ketahuan. Betewe, Mbak pake mantra apa sampai Ibu nggak marah?”

Aku mengangkat kedua bahu. “Lagi bejo ... Dek. Dita apa kabar?”

“Nggak tahu, nih. Jarang muncul. Dia lagi deket sama cowok.” Wajah Sekar muram.

“Nggak coba buat nyari?”

“Udah. Semalam Sekar cari Dita pas pergi sama cowok.”

Seakan sadar sudah mengucapkan sesuatu yang salah, Sekar mendadak bungkam dan salah tingkah. Aku menatapnya seperti tawanan yang harus kujaga.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang