Bab 20

51 9 0
                                    

Aku paling benci jika Sekar menggangguku. Sekarang aku seperti dikutuk atas kelakuanku sendiri. Aku yang tak acuh menjadi peduli. Aku yang irit bicara, berusaha menjadi teman menyenangkan untuk Sekar. Seperti karma, ketika aku mendekatkan diri, Sekar justru menghilang begitu saja. Makin lama ia tak mengabari, makin risau aku dibuatnya.

Apakah uang yang terakhir kali aku berikan cukup untuk mereka? Apakah Ibu sudah survive, sehingga mereka tak lagi merongrong dompetku? Berbagai pertanyaan hadir di kepala. Satu minggu dikejar kegalauan luar biasa, akhirnya malam ini dadaku sedikit lega. Sekar menghubungi.

“Ibu butuh uang, Mbak.” Itu kalimat pertama yang Sekar ucapkan.

“Uang dari Mbak kemarin sudah habiskah?”

“Ada, Mbak. Tinggal sedikit. Sekarang Sekar minta buat beli obatnya Ibu.”

“Memang Ibu kenapa?” Aku menekan ujung jempol ke telunjuk, menyalurkan rasa tidak nyaman akibat informasi yang Sekar berikan.

“Ibu sakit, Mbak. Stres Ibu makin parah. Kemarin dia ngamuk. Sekar hampir dia tusuk.”

Aku menggigit bibir sendiri. Rasa ngilu hadir, membayangkan Sekar hendak ditusuk Ibu. Efek dari kegagalan mendapat harta Hadiwijaya ternyata sebesar ini. Mendadak dadaku tercekat. Kesakitan Ibu seperti menjadikanku penjahat.

“Terus, kamu nggak apa-apa?”

“Kena gores sedikit di bagian leher. Sudah diobatin, kok.”

“Kemarin kenapa ponselmu nggak aktif?”

“Sekar gadai, Mbak. Ibu masuk rumah sakit jiwa. Ini Sekar pinjem handphone teman. Ibu harus rehab di sana, Mbak.”
Jantungku kian dihunjam fakta memilukan.

“Hubungi Mbak terus, ya. Besok Mbak kirim uangnya.”

“Mbak nggak jenguk Ibu sekalian?”

Aku bergeming beberapa saat. “Mbak sibuk, Dek. Nanti kalau ada waktu, Mbak ke sana. Pokoknya, kamu hubungi Mbak terus, ya.”

Aku menyayangi Ibu. Namun, untuk bertemu dengannya sekarang ... entahlah. Ada bagian yang belum bisa aku jelaskan. Pada intinya, pilihan hidup saat ini seperti jembatan yang belum stabil. Bertemu Ibu, aku takut justru membuat pasak yang mulai oleng itu makin roboh. Nanti. Mungkin nanti aku akan menemui Ibu jika sudah pandai menata hati.

Selepas Sekar menutup telepon, aku segera menghitung, berapa banyak uang yang kini aku miliki. Makin banyak saku yang kubuka, makin banyak pula aku menghela napas. Tidak banyak uang yang aku punya.

Aku menyandarkan punggung di tembok, menatap langit-langit kamar. Terpikir, apa aku salah jalan? Kalau saja menerima perjodohan itu, tentu Ibu tak akan terguncang kejiwaannya. Kalau saja aku menerimanya, tentu kami tak mengalami kesulitan ini. Aku sibuk menyalahkan diri sendiri.

“Bodoh!” umpatan Sam seperti mendengung di kepala.

Sam benar. Aku bodoh. Aku yang bersikeras melawan. Aku yang mengambil keputusan, tetapi aku juga yang menyesal. Mentalku lemah bak kerupuk. Pantas saja Sam bilang kalau aku manusia yang paling mudah dipengaruhi.

“Kalau kamu tidak punya prinsip, sampai kapan pun cuma jadi anjing yang terus diikat lehernya. Dibawa ke mana pun dengan rantai sesuka hati mereka, kamu manut saja. Tegas!” ucap Sam di pertemuan terakhir.

Aku menggeleng. Aku menyibukkan diri saja, mencari pundi-pundi rupiah. Ada dua dompet yang aku miliki. Dompet pertama berisi kartu nama dan apa pun itu yang berkaitan dengan identitas. Dompet kedua berisi uang dan ATM. Lantas, aku menyadari sesuatu.

Aku tertipu! Dompet yang sering aku bawa adalah dompet kedua. Dompet yang jatuh dan Andi kembalikan waktu itu, bagaimana ia bisa tahu namaku? Sedangkan tidak ada kartu identitas satu pun di sana!

Aku jadi ingat benda peninggalan Andi. Segera kubuka jaket yang aku pakai hari itu. Kurogoh dan kurasakan benda pipih tersebut menyapa telapak tangan. Ponsel Andi dalam keadaan mati. Lekas aku isi daya, kemudian berseluncur di layarnya. Kira-kira sore hari sebelum malam tragedi, ada panggilan masuk dari Tuan Hadiwijaya. Tuan Hadiwijaya?

Siapa Andi sebenarnya?

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang